Sabtu, 22 April 2017

MENYIKAPI PERBEDAN PENDAPAT ULAMA

MENYIKAPI PERBEDAN PENDAPAT ULAMA

Berbeda pandangan dan pendapat itu hal yg lumrah dalam fiqh. Mulai dari eranya sahabat, tabi'in dan mujtahid sampai hari ini.

Perbedaannya sekarang, ikhtilaf di antara ulama dijadikan sebagian orang sebagai alasan untuk mencela. Dulu, di antara ulama sangat besar rasa hormat dan saling respek satu dengan yang lainnya.

Sahabat Nabi, ibnu Abbas pernah berbeda pandangan dan pendapat dengan semua mujtahid (ijmak) di eranya. Toh, beliau tidak pernah dicela oleh sahabat yang lain.

Di dalam kitab LUMA' USHULIL FIQH, karangan salah seorang ulama bergelar Ashabul Wujuh dalam mazhab Syafi'i, dinukilkan dialog yang sangat santun antara Sahabat Nabi, Usman bin Affan dengan Ibnu Abbas.

Usman bin Affan yang menjabat sbg khalifah saat itu, memutuskan Ibu terhijab Nuqshan (dari seper tiga menjadi seper enam) jika si mayit meninggalkan 2 orang saudara laki-laki.

Dalam surat An-Nisa, ayat 12 yg menjelaskan hijab ibu pada pusaka/faraid, kata saudara berbentuk jamak/plural. "JIKA MAYIT MEMILIKI IKHWAH(beberapa saudara), MAKA IBU MENDAPAT SEPER ENAM."

Nah, mengetahui keputusan Usman berbeda dengan ijtihadnya, Ibnu Abbas mendatangi Usman untuk mengkofirmasi dan meminta alasan serta memaparkan argumennya.

"Wahai khalifah, dua saudara itu bukan IKHWAH dalam bahasa arab. Kenapa engkau memutuskan ibu terhijab dengan adanya dua saudara, padahal AL-QURAN menjelaskan bahwa ibu baru terhijab apabila ada IKHWAH(3 saudara atau lebih)." Ibnu Abbas menjelaskannya.

Usman menjawab, "Aku tidak mempunyai kemampuan dan keberanian untuk menyalahi/melawan ijmak yg telah tetap sebelumku."

Dan masih begitu banyak kisah para ulama mujtahid tempoe doeloe, namun hal tsb tidak mengurangi rasa hormat dan respek sebagian mereka terhadap sebagian yang lain.

Para ulama tidak mencela, walupun berbeda, ada apa dengan kita? Kenapa kita berani mencela ulama? Apakah kita sudah memiliki ilmu agama seperti mereka? Apakah kita mengerti perbedaan yg sedang terjadi di antara mereka? Sikap siapa yg kita teladani ketika mencela?

Sadarlah!!!

Cukup kiranya Qaidah fiqh di bawah ini menjadi landasan kita dalam menghormati perbedaan pendapat di kalangan ulama.

لا ينكر المختلف فيه وانما ينكر مجمع عليه

"Hukum yang masih diperselisihkan tidak dapat diingkari, yg diingkari itu adalah hukum yg sudah disepakati."

Kita tidak boleh memberikan penilaian subyektif terhadap pendapat ulama, karena kebetulan pendapat mereka berbeda dengan angan-angan, hayalan, atau keinginan kita.

Berbeda boleh. Kita boleh memilih dan mendukung pendapat beberapa ulama atau mayoritas ulama. Tp ingat, jangan pernah mencela atau mencaci ulama yang berbeda dengan kita. Toh, ulama saja tidak saling mencela. Kenapa kita latah untuk mencela.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar