Sabtu, 22 April 2017

Abrar vs Muqarrabin

Abrar vs Muqarrabin

"Kebaikan bagi Abrar merupakan keburukan bagi Muqarrabin."

Demikian sebuah aforisme (ungkapan) yang sering terngiang di telinga para santri. Ungkapan yang tercantum dalam kitab-kitab tasawuf seperti Sirajuth Thalibin syarah Minhajul Abidin.

Memang sulit memahaminya, Sebagaimana konsep-konsep tasauf lainnya. Terasa hambar dicicipi akal. Begitu mahal konsep yang ditawarkan. Seolah akal berada di titik koordinat terendah untuk menggapainya. Kenapa kebaikan dikatakan keburukan? Bagaimana bisa ibadah disebut maksiat?

Abrar dan Muqarribin adalah Dua manusia yang sama-sama banyak ibadah zhahirnya. Tp berbeda kualitas dan kuantitas ibadah batinnya. Muqarrabin lebih mantap zuhudnya, lebih kokoh wara'nya, lebih besar ikhlasnya dan lebih sempurna tawakalnya dibandingkan dengan Abrar.

Untuk memberi sedikit gambaran dari ungkapan di atas, ada baiknya untuk memperhatikan dialog antara dua ulama besar, Ibrahim bin Adham dan Syaqiq Al-Balkhi, sebagaimana yang dinukil oleh Syaikh Ahmad Al-Hijazi dalam kitabnya, Majalisus-Saniyah.

Syaqiq bertanya kepada Ibrahim bin Adham: APA YANG KAMU LAKUKAN SEANDAINYA KAMU TIDAK MENDAPATKAN REZEKI?

Ibrahim menjawab: Jika aku diberi rezeki, aku bersyukur. Sedangkan jika aku tidak mendapat apapun, aku bersabar.

Mendengar jawaban Ibrahim bin Adham, Syaqiq berkata: APA YANG KAMU LAKUKAN ITU TIDAK ADA BEDANYA DENGAN KELAKUAN HEWAN DI NEGERIKU. JIKA MEREKA DIBERI, MEREKA SENANG (SYUKUR) DAN JIKA TIDAK DIBERI, MEREKA DIAM (SABAR)

Ibrahim bin Adham balik bertanya kepada Syaqiq Al-Balkhi dengan pertanyaan yang sama. KALAU KAMU?  APA YANG AKAN KAMU LAKUKAN?

Syaqiq menjawab: JIKA AKU DIBERI REZEKI, MAKA AKU AKAN MEMBERIKANNYA KEPADA ORANG LAIN (ITSAR). SEDANGKAN JIKA AKU TIDAK MENDAPATKAN REZEKI, AKU BERSYUKUR.

Setelah itu Ibrahim bin Adham bangkit dan mencium kepala Syaqiq, seraya berkata: "Engkau adalah guruku."

Sangat jelas terlihat perbedaan maqam (martabat) keduanya. Sikap Ibrahim, bersyukur terhadap nikmat dan bersabar diatas cobaan, dinilai salah dan buruk oleh Syaqiq Al-Balkhi. Bahkan beliau mendeskripsikan sikap tsb dengan sikap hewan di negeri beliau.

Sikap yang benar menurut Syaqiq adalah Itsar ketika kaya. Dan bersyukur ketika miskin.

Kenapa bersyukur ketika miskin? Karena miskin itu anugerah. Ketika miskin mereka tidak memiliki beban dan kewajiban. Berbeda halnya ketika mereka kaya. Mereka memiliki tanggung jawab untuk memberikan harta tsb kepada orang yang membutuhkan, orang fakir, anak yatim, dan janda. Inilah yang dimaksudkan dengan ITSAR, yakni mengutamakan kebutuhan orang lain daripada diri sendiri. Dan ini sulit. Karena sifat alamiah manusia adalah kikir ketika kaya.

Makanya Ibnu 'Athaillah berkata: JIKA SEDIKIT SESUATU (HARTA) YANG MENYENANGKAN KAMU, MAKA SEDIKIT PULA SESUATU (BEBAN) YANG MENGGUNDAHKANMU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar