Sabtu, 22 April 2017

MUKMIN SEPERTI POHON KURMA

MUKMIN SEPERTI POHON KURMA

Dari Ibnu Umar berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya diantara pohon ada suatu pohon yang tidak jatuh daunnya. Dan itu adalah perumpamaan bagi seorang muslim".

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya: "Katakanlah kepadaku, pohon apakah itu?"

Maka para sahabat beranggapan bahwa yang dimaksud adalah pohon yang berada di lembah.

Abdullah berkata: "Aku berpikir dalam hati pohon itu adalah pohon kurma, tapi aku malu mengungkapkannya.

Kemudian para sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, pohon apakah itu?" Beliau shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Pohon kurma". (HR. BUKHARI)

Kenapa Nabi saw menjadikan pohon kurma sebagai perumpamaan bagi seorang mukmin?

1. Pohon yg paling kuat dalam bertahan hidup adalah pohon kurma. Bisa hidup di gersang dan gersang. Tidak patah diterjang badai gurun. Itu dikarenakan akarnya yg tumbuh kuat.

Dan begitu perempuan seorang mukmin. Tegar dan sabar saat ditimpa musibah. Itu dikarenakan hatinya tumbuh kuat dengan iman dan ilmu.

2. Daun dari pohon kurma tidak berguguran, sebagaimana informasi dari Nabi saw. Para petaninya tidak disusahkan dengan membersihkan daunnya.

Begitu juga kehidupan seorang mukmin. Hidupnya tidak mengotori lingkungan dan tidak menyusahkan orang lain.

3. Buah kurma mengandung banyak vitamin dan nutrisari. Kandungannya bisa mengobati byk penyakit.

Nah, seorang mukmin itu bisa menghasilkan hal-hal yg bermanfaat bagi yang lainnya.

KETA'ZHIMAN TERHADAP GURU

KETA'ZHIMAN

لو لا مربي لا عرفت ربي

"Jika tidak ada MURABBI (guru), maka aku tidak akan mengenal rabbi(tuhan)."

Maqalah ini dinukilkan oleh salah seorang teman saat kami sharing ttg pendidikan agama. teman yg satu ini menurut kami unik. Unik krn besarnya keta'zhimannya terhadap guru, ketika org-org yg sudah "hebat" meremehkan peran guru alif ba.

Salah satu bentuk keta'zhimannya, ia menghadiahkan gurunya beberapa kitab besar yg terbilang mahal. Diantaranya kitab MAJMUK SYARAH MUHAZZAB dan FATHUL BARI SYARAH SHAHIH BUKHARI. Hadiah itu diberikan kepada guru yg mengajarkan kitab Awamil, kitab paling dasa dalam ilmu nahwu.

Ketika saya menanyakan alasannya, ia menjawab: "jika bukan krn jasanya mengajarkan dasar ilmu nahwu, bisa dipastikan saya tidak bisa seperti skrg (bisa membaca kitab-kitab besar)."

Fenomenal!!! Bagi saya ketakzhiman semacam ini hal yg luar biasa.

Pada waktu yg lain, saya mendapatkan sebagian santri yg mengkomplain gurunya. Walaupun kritikan tersebut kontruktif dan positif  menurutnya.

Kritikan yg disampaikan lebih kepada pengamalan guru terhadap ilmu yg dimiliki. "Guru skrg menjelaskan ini dan itu, menyampaikan surah-surah dengan jelas, tp beliau tdk mengamalkannya," begitu diantara kritikan santri tsb.

Menanggapinya, ada sebuah logika faktual yg perlu disampaikan.

Dosen atau pakar pertanian memberi penyuluhan kepada petani. Apakah krn pakar tsb tidak pernah turun ke sawah, lantas arahan dan intruksi mereka diabaikan???

Dosen kedokteran memberi pembelajaran kepada mahasiswanya dan menjelaskan obat yg sesuai dgn penyakit yg diderita. Apakah krn dosen tsb tidak pernah membuka praktek, lantas materi dan kajiannya ditolak???

Mourinho adalah pelatih sepakbola dunia yg sudah memenangkan banyak gelar dengan klub yg dilatihnya. Bahkan klub seperti FC Porto mampu meraih gelar champion dibawah asuhannya. Pelatih yg super hebat. Tp saat bermain, ia bukan pemain yg hebat. Jika pemain yg dilatihnya berpikiran sama dgn santri tsb, sdh dapat dipastikan ia tidak akan sukses meraih byk gelar.

Sering guru-guru kami menjelaskan: DARI ULAMA AMBIL ILMUNYA. DARI ORANG SHALIH TIRU IBADAHNYA. DARI WALIYULLAH MINTA DOA DAN AMBIL BERKAHNYA.

Nasehat tsb terus diulang-ulang, supaya terpatri kuat dalam sanubari, sehingga kelak bisa meraih kesuksesan dalam belajar.

Dulu saya memiliki teman yg super kolot. Pemikirannya seperti katak di bawah tempurung. Ia selalu mengkomplain guru-guru di dayah. Pernah ia mengatakan kpd temannya mau pindah dayah. Alasannya krn gurunya asik main raket waktu sore.

Beberapa tahun kemudian terdengar kabar ia tertangkap mesum di wc sebuah mesjid. Guru main raket tdk boleh. Klw ia mesum boleh.

Imam Nawawi, Ulama besar asal suriah dan seorang mujtahid tarjih dalam mazhab syafi'i, senantiasa berdoa kpd Allah utk menutup aib gurunya dan memperlihatkan kebaikan dari gunya. Begitu lah doa ulama besar dahulu, supaya mampu mewujudkan keta'zhiman yg sempurna kepada gurunya.

Tidak ada orang yg sempurna. Maka dari itu, ambil yg baik dan tinggalkan yg buruk.

NERAKA DAN PENGHUNINYA

NERAKA DAN PENGHUNINYA

Nabi Adam alaihissalam sangat susah saat pertama kali turun ke dunia. Semuanya serba usaha. Berbeda halnya dgn di syurga, semuanya serba mudah.

Pingin nasi langsung ada. Pingin daging langsung ada. Pingin buah langsung ada. Pingin apapun langsung ada. Hanya terlintas dalam hati, malaikat dengan seketika mewujudkannya.

Di dunia, jika lapar, mk harus Bercocok tanam terlebih dahulu, memanen, dan memasaknya. Jika pingin daging, mesti berburu, kemudian menyembelihnya, dan lalu dimasak.

Nah, ketika Nabi Adam hendak memasak makanan dan daging, beliau tdk bisa melakukannya, krn tidak memiliki alat bakar. Setelah mencarinya kemana-mana jg tidak ditemukan. Krn pada waktu itu belum ada api di dunia ini.

Ketika melihat Nabi Adam kelimpungan dlm mencari api, maka jibril menemui malaikat Malik utk meminta secuil api neraka.

Jibril: Berikan kepadaku api neraka sebesar biji kurma. Krn Adam membutuhkan api utk memasak.

Malik: jika aku memberikannya, mk tujuh petala langit dan bumi akan hancur binasa.

Jibril: klw begitu, berikan setengahnya.

Mikail: jika aku memberikannya, maka semua sungai, laut dan seluruh air di bumi akan kering dan sirna.

Lalu Jibril meminta petunjuk dari Allah swt terhadap permasalahan yg sedang ia hadapi. Kemudian Allah mewahyukan untuk mengambil api neraka sebesar zarrah dan setelahnya direndam di dalam tujuh puluh laut.

Zarrah adalah benda terkecil yg tidak bisa dibagi lagi. Biji sawi tdk termasuk zarrah, walaupun ada yg mengartikan demikian, krn biji sawi masih bisa dibagi lagi. Lebih tepatnya, Zarrah itu diartikan dgn atom.

Lantas Jibril menurunkan dan meletakkannya di dalam gunung. Walaupum sebesar atom dan sudah direndam dalam 70 sungai, tetap tensinya masih begitu tinggi, sampai gunung saja meleleh.

Melihat itu, Jibril mengambil dan membawanya kembali dalam syurga. Yang tinggal bagi Nabi Adam adalah bara api tsb. Dahsyat sekali panasnya api neraka.

Dalam satu riwayat, Jibril memberi penjelasan kepada Nabi saw ttg keadaan neraka. Di dalam neraka ada baju yg disediakan kepada penghuninya. Baju tsb, apabila digantung di antara langit dan bumi, maka seluruh makhluk akan mati, krn mencium baunya yg sangat busuk.

Penjaga neraka berjumlah 19 malaikat. Apabila salah seorang mereka turun ke dunia, mk seluruh makhluk akan mati seketika, krn melihat kengerian dan keseramannya.

Dan ada begitu banyak lagi haiah dan sifat neraka.

Nah, neraka yg digambarkan tsb, kepada siapa dipersiapkan???

Dalam Al-Alquran, Allah swt berfirman, "kami peruntukkan neraka bagi mayoritas jin dan manusia, yg memiliki pikiran tp tidak dipergunakan utk memikirkan kebaikan. Dan memiliki mata tp tdk dipergunakan utk melihat kebaikan. Dan memiliki telinga tp tdk dipergunakan utk mendengar kebaikan."(QS. Al-Akraf 179)

Dari ayat di atas dpt disimpulkan, BESAR ATAU TIDAKNYA PELUANG SESEORANG MASUK SURGA SEBANDING DGN BESARNYA PERHATIANNYA KEPADA KEBAIKAN(IBADAH).

Jika sering memikirkan kebaikan, memikirkan bagaimana meningkatkan ibadah, memikirkan bagaimana mempercepat pembangunan mesjid dan dayah, memikirkan bagaimana mensejahterakan fakir dan miskin, memikirkan bagaimana syariat bisa tegak  di tengah keluarga dan masyarakat, jika ini yg sering dipikirkan, maka peluang masuk surga sangat besar. Begitu jg dgn mata dan telinga.

KLASIFIKASI MANUSIA

KLASIFIKASI MANUSIA

1. Orang yg tw dan menyadari dirinya tw. Ini kelompok yg terbaik. Mereka adalah ulama pembimbing umat. Mereka konsisten dalam mengajar dan menyebarkan ilmu, krn mereka tw dan menyadari bahwa mereka tw.

Dalam satu riwayat, Nabi saw melarang orang alim diam dan tidak menyampaikannya(HR. Thabrani)

2. Orang yg bodoh dan menyadari dirinya bodoh. Kelompok ini terus belajar dan memperdalam ilmu, Krn mereka menyadari bahwa mereka bodoh.

Nabi saw juga melarang orang jahil diam daripada kejahilannya(HR. Thabrani)

3. Orang yg tw dan tidak menyadari dirinya tw. Kelompok ini berdosa, krn keengganan mereka utk menyebarkan ilmu.

Dalam sebuah hadis Nabi saw bersabda: “Barang siapa ditanya tentang suatu ilmu yang ia ketahui kemudian ia menyembunyikannya, maka kelak ia diseret di hari kiamat dengan rantai yang terbuat dari api neraka.” (H.R Abu Daud dan Tirmidzi)

4. Orang yg jahil dan tidak menyadari dirinya jahil. Kelompok ini sangat berbahaya, krn mereka mengira dirinya sdh byk ilmu. Implikasinya, mereka meninggalkan menuntut ilmu dan berani berkata-kata ttg agama asal-asalan dan akal-akalan.

Mereka mendapatkan akumulasi dosa. Dosa tidak menuntut ilmu dan dosa menyesatkan orang lain

BERUSAHA LAH UTK MENJADI KELOMPOK PERTAMA. JIKA TIDAK BISA,  TEMPATKAN DIRI KITA PADA KELOMPOK NOMOR DUA...

Kafir vs Muslim, siapakah Raja?

Kafir vs Muslim, siapakah Raja?

Salah seorang ulama Aceh, Tgk Syarifuddin, atau akrab disapa Abi Bidok, berkata, "ORANG KAFIR ADALAH BUDAK ORANG ISLAM."

Awalnya, pernyataan tsb musykil bagi kami, krn realitanya, sekarang orang muslim yg menjadi budak org kafir. Orang kafir lebih hebat. Pakar tekhnologi org kafir. Yg Yg bisa buat nuklir org kafir. Org kafir serba bisa dewasa ini. Orang muslim ya lage habanyan.

Namun setelah beliau menjelaskan dari sudut pandang yg berbeda, sedikit demi sedikit kemusykilan tsb hilang.

"Orang kafir buat kapal, yg naik utk melakukan ibadah haji orang islam. Yg buat mobil orang kafir, yg mengendarainya utk ibadah orang muslim. Yg membuat HP orang kafir, yg menggunakannya utk menjaga ukhuwah orang muslim."

Yg buat adalah pelayan dan yg memakai adalah tuan. Muslim tugasnya beribadah. Sedangkan yg menyediakan fasilitasnya org lain. Jgn sebaliknya, Muslim menyediakan fasilitas dan org lain yg menikmati.

Demikian sekilas pandangan dari kacamata yg berbeda dari Al-Mukarram Abi Bidok

MENYIKAPI PERBEDAN PENDAPAT ULAMA

MENYIKAPI PERBEDAN PENDAPAT ULAMA

Berbeda pandangan dan pendapat itu hal yg lumrah dalam fiqh. Mulai dari eranya sahabat, tabi'in dan mujtahid sampai hari ini.

Perbedaannya sekarang, ikhtilaf di antara ulama dijadikan sebagian orang sebagai alasan untuk mencela. Dulu, di antara ulama sangat besar rasa hormat dan saling respek satu dengan yang lainnya.

Sahabat Nabi, ibnu Abbas pernah berbeda pandangan dan pendapat dengan semua mujtahid (ijmak) di eranya. Toh, beliau tidak pernah dicela oleh sahabat yang lain.

Di dalam kitab LUMA' USHULIL FIQH, karangan salah seorang ulama bergelar Ashabul Wujuh dalam mazhab Syafi'i, dinukilkan dialog yang sangat santun antara Sahabat Nabi, Usman bin Affan dengan Ibnu Abbas.

Usman bin Affan yang menjabat sbg khalifah saat itu, memutuskan Ibu terhijab Nuqshan (dari seper tiga menjadi seper enam) jika si mayit meninggalkan 2 orang saudara laki-laki.

Dalam surat An-Nisa, ayat 12 yg menjelaskan hijab ibu pada pusaka/faraid, kata saudara berbentuk jamak/plural. "JIKA MAYIT MEMILIKI IKHWAH(beberapa saudara), MAKA IBU MENDAPAT SEPER ENAM."

Nah, mengetahui keputusan Usman berbeda dengan ijtihadnya, Ibnu Abbas mendatangi Usman untuk mengkofirmasi dan meminta alasan serta memaparkan argumennya.

"Wahai khalifah, dua saudara itu bukan IKHWAH dalam bahasa arab. Kenapa engkau memutuskan ibu terhijab dengan adanya dua saudara, padahal AL-QURAN menjelaskan bahwa ibu baru terhijab apabila ada IKHWAH(3 saudara atau lebih)." Ibnu Abbas menjelaskannya.

Usman menjawab, "Aku tidak mempunyai kemampuan dan keberanian untuk menyalahi/melawan ijmak yg telah tetap sebelumku."

Dan masih begitu banyak kisah para ulama mujtahid tempoe doeloe, namun hal tsb tidak mengurangi rasa hormat dan respek sebagian mereka terhadap sebagian yang lain.

Para ulama tidak mencela, walupun berbeda, ada apa dengan kita? Kenapa kita berani mencela ulama? Apakah kita sudah memiliki ilmu agama seperti mereka? Apakah kita mengerti perbedaan yg sedang terjadi di antara mereka? Sikap siapa yg kita teladani ketika mencela?

Sadarlah!!!

Cukup kiranya Qaidah fiqh di bawah ini menjadi landasan kita dalam menghormati perbedaan pendapat di kalangan ulama.

لا ينكر المختلف فيه وانما ينكر مجمع عليه

"Hukum yang masih diperselisihkan tidak dapat diingkari, yg diingkari itu adalah hukum yg sudah disepakati."

Kita tidak boleh memberikan penilaian subyektif terhadap pendapat ulama, karena kebetulan pendapat mereka berbeda dengan angan-angan, hayalan, atau keinginan kita.

Berbeda boleh. Kita boleh memilih dan mendukung pendapat beberapa ulama atau mayoritas ulama. Tp ingat, jangan pernah mencela atau mencaci ulama yang berbeda dengan kita. Toh, ulama saja tidak saling mencela. Kenapa kita latah untuk mencela.

Banyak beristighfar, Nabi saw berdosa???

Banyak beristighfar, Nabi saw berdosa???

Dalam sebuah hadis dijelaskan, Nabi saw beristighfar dalam sehari lebih 70 kali. Sebagaimana dalam riwayat Imam Bukhari.

Hadis yang ke 5832:

ٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً رواه البخاري

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Demi Allah, sesungguhnya aku beristighfar dan bertaubat kepada Allah dalam satu hari lebih dari tujuh puluh kali." ( HR. Bukhari)

Dalam riwayat yang lain, sampai 100 kali. Sebagaimana riwayat Imam Tirmizi.

Hadis yang ke 3182:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ  فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ فِي الْيَوْمِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ رواه الترمذي وقَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu: "Dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan." (QS. Muhammad 19) Nabi Shallallahu 'alaihi wa Salam bersabda: "Sesungguhnya aku meminta ampun kepada Allah dalam sehari sebanyak seratus kali." (HR. Tirmizi). Tirmizi berkata: Hadits ini hasan shahih.

Walaupun kedua riwayat tsb berbeda,  namun bisa dijama' (dikompromikan) dan pun intinya satu, yakni Rasulullah saw beristighfar, bertaubat dan meminta ampun kepada Allah swt banyak sekali, lebih 70 atau 100 kali.

Apakah hal ini mengindikasikan Rasulullah memiliki dosa?

Jawabannya tentu saja tidak. Nabi Muhammad saw dan juga Nabi-Nabi yg lain mak'sum, tidak memiliki dosa, walaupun hanya sebesar debu. Nah, timbul pertanyaan selanjutnya, kalau demikian, apa tujuan Rasul saw beristighfar?

Oleh ulama memberikan beberapa jawaban, sebagaimana dalam kitab Fathul Bari, Karangan Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Salah seorang ulama hadis terkemuka, yang menghafala 100 ribu hadis lebih,  dan beliau bermazhab Syafi'i.

1. Sebagai pengakuan terhadap kelalaianya. Di sini beda, hamba yang benar-benar shalih. Walaupun sudah melakukan amal dan ibadah yang super banyak, namun mereka masih menyadari bahwa apa yg mereka lakukan belum memenuhi standar kewajiban seorang hamba kepada tuhannya.

ومنها قول ابن بطال : الأنبياء أشد الناس اجتهادا في العبادة لما أعطاهم الله  تعالى من المعرفة فهم دائبون في شكره معترفون له بالتقصير  انتهى ومحصل جوابه أن الاستغفار من التقصير في أداء الحق الذي يجب لله تعالى

2. Sebagai TASYRI' bagi umatnya. Sebagaimana dimaklumi, salah satu tugas Nabi saw adalah mengajarkan syari'at kepada umatnya, dengan perkataan atau perbuatan. Dan Istighfar adalah salah satu syari'at yang beliau ajarkan melalui suri teladan.

3. Sebagai syafa'at dan tebusan bagi dosa umatnya.

ومنها أن استغفاره تشريع لأمته أو من ذنوب الأمة فهو كالشفاعة لهم

4. Sebagai tebusan bagi derajat mereka yang sebelumnya lebih rendah. Karena martabat dan keimanan Rasulullah saw terus meningkat dari waktu ke waktu. Nah, saat beliau melihat kepada kedudukan beliau sebelumnya yang lebih rendah di sisi Allah swt dengan kedudukan beliau yg sekarang, maka beliau minta ampun kepada Allah swt.

وقال الغزالي في الإحياء كان صلى الله عليه وسلم دائم الترقي فإذا ارتقى إلى حال رأى ما قبلها دونها فاستغفر من الحالة السابقة

Jawaban Cerdas Imam Syafi'i Kepada Ulama Hanafiah

Jawaban Cerdas Imam Syafi'i Kepada Ulama Hanafiah

Dalam masalah takbir, Imam Syafi'i berbeda pendapat dengan Ulama dalam mazhab Hanafi.

Lafazh takbir, menurut Ulama hanafiah, tidak mesti ALLAHU AKBAR. Boleh memakai redaksi yang lain, yang mengindikasikan kemahabesaran Allah swt. Misalnya ALLAHU 'AZHAM, Allah maha agung.

Karena secara subtansi, kata mereka, takbir adalah memuji Allah akan kehebatannya. Maka tidak berbeda antara ALLAHU AKBAR dan ALLAHU 'AZHAM.

Berbeda halnya dengan Imam Syafi'i, beliau membuat justifikasi, "Mesti lafazh ALLAHU AKBAR dan tidak boleh lafazh yang lain.

Nah, saat diajukan alasan Imam Hanafi kepada Imam Syafi'i, beliau berkata:
"Bukankah ada hadis qudsi, Allah swt berfirman: KIBRIYA' (Kemahabesaran) adalah selendangku dan 'AZHAMAH (Keagungan) sarungku."

"Bukankah, selendang lebih mulia daripada sarung?" Imam Syafi'i membungkam.

Kenduri Maulid dalam perspektif Al-Quran,  Bolehkah?

Kenduri Maulid dalam perspektif Al-Quran,  Bolehkah?

Setelah masuk grup membedah bidah dan membaca salah satu artikel di dalamnya, saya merasa heran, di zaman serba ada seperti sekarang, masih juga ada org yg memperdebatkan hukum kenduri maulid. padahal hukumnya sdh sangat jelas, yaitu sunnah. Sayangnya ada sebagian org yg mengaku dirinya pengamal sunnah tp terlalu extreme dalam menyikapi kenduri mauid, bahkan menyamakannya dgn natal. naudzubillah.

Nah, tulisan ini bermaksud utk memberi dalil dari sekian byk dalil yg ada. smg bisa menyadarkan mereka, sehingga tidak terlalu "KOLOT" dan bersikap seperti "KATAK DI BAWAH TEMPURUNG" dalam menyikapi kenduri maulid.

Di dalam Al-Quran, Allah swt berfirman yg artinya: “Tidak kami mengutus kamu melainkan sbg rahmat bagi semesta alam.” (al-anbiya 107)

Dalam kitab tafsir shawi dijelaskan, rahmat  ini dirasakan jg oleh orang kafir, dlm bentuk penangguhan azab dari Allah swt (shawi-3-110).

Coba lihat umat-umat terdahulu, apabila  mengingkari Nabi, mk langsung diazab dan dilenyapkan oleh Allah dr permukaan dunia.

Umat nabi Nuh as diazab dgn banjir besar. Kaum nabi Hud as diazab dgn angin topan. Kaum tsamud, umat nabi Shalih as, diazab dgn guntur dan petir. Umat nabi Luth as diazab dgn gempa bumi. Mereka diazab sampai binasa dan lenyap  krn mengingkari nabi mereka. Apakah di zaman Nabi saw ada azab yg dahsyat kepada kuffar mekkah? Apa yg tidak mereka lakukan terhadap Nabi saw. Mengejek? Pengingkaran? Bahkan lebih parah dr itu. Pernah abu sufyan menaruh kotoran unta di pundak Nabi saw yg sedang rukuk.

Melempar Nabi saw dgn batu.  pernah jg Nabi saw dikeroyok oleh kaum musyrik mekkah kemudian datang Abubakar utk melindunginya. Jika dibuat perbandingan, maka pengingkaran dan penghinaan kaum jahiliyyah yg diarsisteki oleh Abu lahab kepada Nabi saw  lebih besar dan dahsyat drpd yg dilakukan umat2 terdahulu kepada nabi mereka. Nah, hitungan matematis yg tepat,  azab yg ditimpakan kepada mereka harusnya lebih  dahsyat lagi. Banjir, gempa bumi, angin topan, guntur dan petir dikemas dalam satu paket, kemudian ditimpakan kepada kaum musyrik Mekkah. Inilah  yg pantas diterima mereka, jika menelusuri pembangkangan yg mereka lakukan.

Nabi saw menghadapinya dgn sabar, bahkan berdoa dan meminta kepada Allah, supaya ditangguhkan azab kepada mereka kelak di hari kiamat.

Lahirnya Nabi saw adalah rahmat bagi semesta alam. Tidak hanya bagi manusia,  jg bagi bangsa jin, tumbuhan, hewan2, bagi  semuanya, Lat batat kaye bate.

Rahmat dan nikmat dr Allah swt wajib disyukuri. caranya?
Salah satu caranya adalah tahaddus. Sebagaiman firman Allah swt yg artinya: “dan terhadap nikmat tuhanmu hendaklah kamu bertahaddus.” (Ad-Dhuha 11)

Syekh ‘Ali  Shabuni  menjelaskan, arti  tahaddus ialah memberitahu org lain akan nikmat yg diperoleh(shafwatut-tafasir-3-554)
Memberitahu nikmat kepada org lain adalah bentuk syukur kepada Allah swt. Bisa dengan memberitahu dgn lisan, sms atau mengadakan kenduri syukuran.

Ini bertujuan untuk berbagi  dgn sesama dan tidak lupa terhadap nikmat tsb.

Alhamdulillah, tahaddus ini sdh menjadi budaya masyarakat Aceh khususnya dan Indonesia umumnya. Mulai dr kalangan bawah sampai menengah ke atas. menang tender proyek bikin kenduri, undang tetangga sebelah rumah, tahaddus. Menang pemilu bikin kenduri, tahaddus. Setelah wisuda, Lulus menjadi sarjana, mentraktir teman2 makan, tahaddus. Mendapat beasiswa utk melanjutkan pendidikan ke luar negeri, sebelum berangkat bikin kenduri syukuran, tahaddus.

Begitu juga dgn peringatan Nuzulul Quran setiap tahunnya, yaitu pada malam 17 Ramadhan, adalah bentuk implementasi tahaddus yg diperintahkan ayat di atas. krn Al-Quran adalah rahmat bagi kaum beriman, sebagaimana firman Allah swt dalam surat yunus ayat 58.

Syekh ‘alauddin ‘Ali menukilkan sebuah hadis yg diriwayatkan oleh Tirmidzi: “barangsiapa yg menyembunyikan nikmat sungguh ia sdh kufur.”(Khazin-4-261)

Nah, dari penjelasan diatas, jelas bahwa membuat kenduri maulid hukumnya boleh, bahkan dianjurkan, sebagai bentuk tahaddus terhadap nikmat dan rahmat terbesar bagi alam semesta.

Cara Unik dan Nyentrik Ulama Sufi Bersyukur

Cara Unik dan Nyentrik Ulama Sufi Bersyukur

Sesuatu itu berharga setelah ia tiada, saat  tidak bisa lagi menghargainya.

Berharganya hidup saat tubuh berkalang tanah. Berharganya sehat saat terkapar tak berdaya di atas pembaringan.

Berharganya seorang ayah setelah ia meninggal dunia. Keluarga, teman, atau tetangga tidak berharga kecuali setelah mereka tiada. Penyesalan pun muncul karena tidak sempat mengapresiasi kehadiran mereka saat mereka ada. Sangat menyakitkan. Memang demikian, Penyesalan selalu datangnya kemudian, saat kehilangan menimpa.

Bernilainya waktu bagi orang yang telah kehilangan waktu. Bernilanya kesempatan bagi orang sudah kehilangan kesempatan. Apakah kita pernah merasa sangat menyesal dan bersedih saat kehilangan waktu dan kesempatan?

Hal yang sepele pun akan sangat berharga saat dibutuhkan, tp tidak ditemukan. Walaupun sebelumnya kita memilikinya,  banyak dan berlimpah. Coba berikan air kepada orang yang sedang kehausan di tengah Padang pasir, di tempat yang tidak ditemukan air. dan lihat, bagaimana mereka menghargainya. Tentu, mereka akan sangat berterima kasih. Dan sebaliknya, coba berikan air kepada mereka yang mudah mendapatkan air. Dan lihat, apakah mereka akan berterima kasih?

"BARANGSIAPA YANG TIDAK MENGETAHUI NILAI NIKMAT KETIKA MEMPEROLEHNYA, MAKA IA AKAN MENGETAHUINYA KETIKA KEHILANGAN NIKMAT TSB." Demikian salah satu ungkapan Ibnu 'Athaillah As-Sakandari, sang begawan sufi dari Mesir.

Inilah, mengapa Allah swt mencabut nikmat dari seseorang. Dari kaya menjadi miskin. Dari sukses menjadi bangkrut. Dari baik menjadi jahat. Intinya, dari memiliki menjadi kehilangan. Hikmahnya adalah supaya menyadari begitu besar nikmat yang telah diberikan Allah swt selama ini. Sehingga dengan demikian, seseorang lebih menghargai sesuatu ketika ia mendapatkannya kembali. Dan hal tsb (kembalinya nikmat) sangat jarang terjadi.

Nah, jangan tunggu kehilangan untuk bersyukur. Selama nikmat itu masih kita miliki, selama itu pula syukur tidak boleh pudar. Terkhusus nikmat HIDAYAH, satu-satunya wasilah untuk bisa mendapat nikmat yang teragung, syurga jannatun na'im. Rawat dan jagalah!!!

Kehilangan adalah salah satu cara Allah swt mengajari hambanya untuk bersyukur dan lebih menghargai nikmat. Sederhananya, NIKMAT HILANG SYUKUR DATANG.

Karena ini, sebagian ulama senantisa berdoa, "YA ALLAH, SADARKAN AKU TERHADAP NIKMAT YANG TELAH ENGKAU BERIKAN SAAT NIKMAT ITU MASIH ADA DAN JANGAN ENGKAU SADARKAN AKU SAAT NIKMAT ITU TELAH TIADA."

Dalam sebuah hadis, Nabi saw bersabda: "LIHATLAH KEPADA ORANG DI BAWAH KALIAN DAN JANGAN MELIHAT KEPADA ORANG DI ATAS KALIAN."

Cara lain mengundang rasa syukur adalah melihat orang yang lebih rendah.

Seseorang yang memiliki motor, maka lihat orang yang tidak memiliki motor, jangankan motor sepeda pun tidak ada atau bahkan untuk makan saja org tsb susah. Kita makan sehari tiga kali. Ditambah snack lain. Sesekali makan di kfc. Pergi kemana pun ada motor. Mudah. Coba perhatikan, mereka yang kemana-mana jalan kaki, mereka yang bekerja banting tulang tp untuk makan seperti kita saja susah, apalagi makan di kfc. Minum kopi ngutang. Ditambah lagi utang lain yang membebani pikirinnya. Belum lagi uang jajan anak setiap harinya. Sangat susah.

Jangan melihat mereka yang memiliki mobil. Krn itu hanya menimbulkan ambisi untuk memperolehnya dan membuat lelah tidak berkesudahan. Nikmati saja apa yang telah dimiliki dan tidak lupa bersyukur. Sederhana.

Dalam mengamalkan hadis di atas, oleh ulama sufi memiliki cara yang unik dan nyentrik.

Syaikh Al-'Alamah Al-Fahamah Ibnu 'Ibad, salah seorang ulama besar asal spanyol, mengisahkan dalam hasyiahya:

Ulama Sufi sering menjenguk orang sakit. Mereka menyaksikan penderitaan dan kesengsaraan karena sakit yang dideritanya. Mereka sering berkunjung ke penjara, melihat bagaimana keadaan narapidana yg dihantui ketakutan menjelang eksekusi. Mereka juga sering mengunjungi rumah duka yang ditimpa kematian anggota keluarganya. Mereka memperhatikan keadaan dan kesusahan mendalam yang sedang dialami oleh kerabat si mayyit. Kemudian mereka kembali ke rumah dan bersyukur sepanjang hari, karena telah dibebaskan dari musibah, kesedihan, kegundahan, kesusahan, dan kesengsaraan.

Lebih unik lagi apa yang dilakukan oleh Rabi' Bin Khas'am, seorang ulama sufi dari kalangan Tabi'in. Salah satu nasehat beliau yang sangat berkesan dalam hati kami, "BELAJAR FIQIH DULU SEBELUM KAMU MELAKUKAN UZLAH, SULUK DAN KHULWAH", sebagaimana dinukil oleh Syaikh Sayyid Bakri Asy-Syatha  dalam I'anatuth Thalibin.

Apa yang unik dari beliau?

Beliau menggali sebuah kuburan di dalam rumahnya. Kemudian beliau membelenggu lehernya dengan rantai dan tidur dalam kuburan tsb. Lalu beliau berujar: ya Tuhan kembalikan aku ke dunia, supaya aku bisa mengerjakan ibadah yg aku tinggalkan dahulu.

Ini mengingatkan kita kepada Firman Allah swt, yang mengisahkan penyesalan orang kafir kelak di hari kiamat. Mereka meminta kembali ke dunia untuk beribadah, namun Allah swt tidak memperkenankannya.

Begitulah keunikan mereka dalam mengundang rasa syukur.

Kesimpulan pengajian Syarah Hikam
Halaman 34, jilid 2
Jumat, 03/03/2017

BERCADAR OR NOT?

BERCADAR OR NOT?

Kesimpulan "SUNNAH BERCADAR" sepertinya memberikan negative impact dalam spektrum yang tidak luas. Namun menyedihkan. Berharap panen kebaikan, tp yang dituai malah keburukan. Miris memang. Bisa dikatakan, sakitnya tuh di mana-mana.

Ada yang awalnya sudah bertekad kuat, kemudian mengurungkan niatnya memakai cadar. Dan yang sudah istiqamah bercadar diacuhkan, Tidak lagi menjadi inspirasi bagi teman-teman yang lain. Menyedihkan.

Mungkin ini disebabkan beberapa faktor. Diantaranya adalah ketidakpahaman perbedaan ranah ILMIAH dan AMALIAH. Bukan perbedaan yang menyesatkan. BERAMAL tidak BERILMU dan BERILMU tidak BERAMAL. Bukan itu yang kami maksud kan.

Dalam tataran ILMIAH yang menjadi barometernya adalah DALIL atau disebut MURA'ATUL ADILLAH. Sedangkan pada tataran AMALIAH, yang diprioritaskan adalah aspek IHTIYATH, kehati-hatian, atau bisa disebut MURA'ATUL KHILAF.

Dalam permasalahan KHILAFIYAH, seperti bercadar, sikap (amaliah) yang paling baik dan dianjurkan adalah IHTIYATH, berhati-hati. Berhati-hati yang dimaksud di sini adalah mengamalkan pendapat yang paling berat.

Misalnya memakan kepiting. Ada ulama yang berpendapat haram dan Ada juga yang membolehkan. Nah, dalam amaliah, sikap yang paling baik adalah Tidak memakan kepiting. walaupun dalil ulama yang membolehkan lebih kuat.

Contoh lain menyapu seluruh kepala ketika berwudhuk. Ada ulama yang berpendapat hal tsb wajib. Dan Ada juga ulama yang berpendapat sunnah. Maka, dalam amaliah, sikap yang paling baik adalah menyapu seluruh kepala ketika berwudhuk. Walaupun dalil ulama yang berpendapat sunnah lebih kuat.

Demikian juga bercadar.

Bercadar itu bukan budaya Arab. Bercadar adalah syariat yang tertera dalam Al-Quran.  Ini merupakan salah satu keistimewaan cadar. Tidak ditemukan anjuran dalam Al-Quran melainkan terhadap perkara-perkara Yang super penting. Imam, Shalat, Puasa, Zakat, Dan Haji adalah beberapa perkara Yang dibahas langsung oleh Allah swt melalui firmannya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa perkara-perkara tsb sangat penting Dan urgent dalam Islam. Nah, disebutkannya cadar dalam Al-Quran pertanda bahwa bercadar merupakan perkara yang penting dan urgent.

Begitu pentingnya cadar bagi wanita merdeka, sampai Umar bin Khattab Marah jika ada budak  yang memakai cadar. Ini satu pertanda bahwa cadar adalah simbol kehormatan Dan kemulian.

Bercadar bukan urusan gampang. Tidak seperti membalik telapak tangan.  Membutuhkan kekuatan iman Yang luar biasa untuk memakainya. Tidak ubahnya bertahajud. Bangun di tengah malam saat Yang lain dimabuk tidur. Melawan kantuk Dan dinginnya air wudhuk. Ini sulit Dan berat. Tapi bercadar lebih sulit Dan berat. Apalagi zaman sekarang. Di mana orang-orang memandang sinis terhadap wanita bercadar.

Sok suci, sok alim, sok shaleha, Dan berbagai umpatan lainnya ditujukan kepada mereka yang bercadar. Miris sangat mendengarnya. Tidak jarang ada Yang menyerangnya dengan frontal. "Baru dua tahun ngaji sudah bercadar. Istri ulama saja tidak memakainya." Perbandingan semacam ini membuat semangat menjadi down. Seharusnya, jika belum mampu memakainya, ya mendukung mereka yang memakainya. Kalau itu juga tidak mampu, paling kurang tidak mengganggu mereka.

Di tengah arus badai yang begitu dahsyat menyerang, mereka tetap istiqamah memakainya. Ini pertanda bahwa dalam hati mereka tersimpan mutiara iman yang berkilau indah, Cahayanya terang-benderang. Sangat-sangat mengagumkan. Dan tentunya mereka adalah idaman setiap pria yang shalih.

Ini di Indonesia yang mayoritas Muslim. Coba bayangkan mereka yang tinggal di negara yang mayoritas kafir. Di mana bully Sudah menjadi hal Yang lumrah. Pasti tantangan dan rintangannya lebih besar. Pakai jilbab saja dilecehkan, apalagi bercadar. Tp mereka  tetap istiqamah memakainya. Kemana-mana bercadar. Tanpa beban. Fenomenal!!! Terkadang kami berfikir untuk mempersunting mereka.

Apa ini berlebihan? TIDAK!!! Ini tidak berlebihan. Logikanya, orang yang bisa menjaga kehormatan sampai batas tsb, Sudah barang tentu bisa menjaga kehormatan keluarganya, suami dan anaknya.

Kami Akan memberikan sebuah komparasi sederhana untuk menutup pembahasan ini. Sebelumnya, kami meminta maaf jika bahasanya berlebihan. Hanya sebagai perbandingan antara baik dan yang lebih baik. Antara bagus dan yang lebih bagus. Itu saja. bukan perbandingan antara buruk dan baik. Jelek dan bagus. Bukan sama sekali. Semoga bisa dimaklumi.

Yang terbungkus dalam kemasan itu lebih mahal. Coba perhatikan, buah-buah yang dijual di supermarket lebih mahal harganya daripada buah yang dijual di pinggir Jalan. Apa yang membedakannya?  Padahal sama-sama buah. Rasanya sama. Ukurannya juga sama. Tp kenapa yang di supermarket lebih mahal?

Kemasan!!! Buah dalam kemasan lebih terjamin kualiatasnya. Mungkin bagi sebagian orang tidak mempermasalahkannya. Tidak membeda-bedakannya. Yang penting buah. Yang penting bisa dimakan.

Tp bagi mereka yang mementingkan kualitas, mutu, tidak asal makan, mereka lebih memilih buah yang dibalut dalam kemasan. Walaupun buah yang lain juga baik dan bagus. Ini masalah selera. Antara selera tinggi dan yang biasa.

Cukuplah istri-istri Nabi saw dan sahabat menjadi suri teladan. Mereka itu bidadari syurga. Tidak. Mereka itu ratunya bidadari syurga. Tidak. Mereka Lebih dari itu!!! Mereka itu adalah simbol kemulian bagi kemulian itu sendiri.

NEGATIVE THINGKING

NEGATIVE THINGKING

Allah swt berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman tinggalkan praduga, karena sebagian praduga itu dosa." (QS. Al-Hujurat 12)

Sudah menjadi adat dan kebiasan bangsa arab, orang miskin bergabung dengan orang kaya ketika mereka bermusafir. Yang kaya menanggung tranportasi orang miskin. Orang miskin melayani orang kaya. Demikian juga Salman Al-Farisi.

Pada suatu perjalanan, Salman diserang kantuk berat. Lalu Ia mencari tempat untuk tidur. Tidak lama kemudian, datang dua orang laki-laki. Keduanya menanyai makanan.

Salman menjawab: Tidak ada. Karena ngantuk berat tadi, aku tidur, Sebelum sempat mempersiapkan makanan untuk kalian.

Lalu, Keduanya menyuruh salman untuk meminta makan kepada Nabi saw yang juga ikut bermusafir. Nabi saw ditemani oleh Usamah, cucu angkat yang sangat disayang Nabi saw. Usamah bertugas membawa perbekalan dan makanan Nabi saw.

Sampai di sana, Nabi saw menyuruh Salman untuk memintanya kepada Usamah. Nabi bersabda: "Katakan kepada Usamah, jika masih ada makanan dan lauk pauk, maka hendak ia memberikannya kepadamu."

Pulang dengan tangan hampa membuat kecewa dua orang laki-laki tsb. Keduanya berpikir yang jelek-jelek kepada Usamah. Salah satu keduanya berkata: Usamah itu pelit. Tidak mau memberi makanan kepada kita. Padahal ia memilikinya.

Salman juga tidak luput dari persepsi negatif keduanya. Dan salah satunya berkata: Seandainya kita mengutus salman untuk mengambil air pada sumur yang berlimpah, maka mata airnya pun berhenti.

Kemudian turun ayat di atas. (Tafsir Khazin)

Memberi penilaian terhadap sesuatu yang terjadi adalah wajar. Manusiawi. Tapi terkadang penilaian tsb salah.Tidak sebagaimana yang dipikirkan. Ini yang dikhawatirkan.

Ketika melihat orang ke mesjid, spontan terlintas dalam pikiran bahwa orang tsb hendak melakukan shalat jama'ah, berusaha menggapai pahala lebih besar dan mengamalkan sunnah. Berfikir seperti ini baik. Dengan demikian, kita akan menghargai dan bersikap baik dengannya. Reaksi atau sikap bermula dari pikiran. Berfikir baik kepada seseorang akan melahirkan perlakuan yang baik kepada org tsb.

Nah, jika sebaliknya, berfikir, mengira dan menganggap orang tsb pamer, riya, dan anggapan buruk lainnya, maka ini tidak baik. Krn dapat melahirkan sikap buruk terhadap orang tersebut. Apalagi sampai asumsi tsb dideskripsikan dengan kata-kata dan disampaikan kepada orang lain. Sehingga kebencian terhadap orang tsb merebak dan menyebar kemana-mana. Ini sangat bahaya.

Menurut Sufyan Ats-tsauri, positive thingking itu ada dua macam.
1. asumsi negatif yang diungkapkan. Ini berdosa.
2. Asumsi negatif yang dikubur dalam-dalam, alias tidak diungkapkan. Ini tidak berdosa. Tapi ini juga tidak baik. (Tafsir Khazin)

Kami memiliki seorang guru yang mengalami hal yang pahit. Mengajar dan menabur kebaikan tp menerima balasan buruk. Air susu dibalas air tuba. Hanya karena asumsi negatif. Kerap menundukkan pandangan ketika berjalan, Sebagian murid berasumsi bahwa ia sombong. Padahal maksudnya baik. Hanya berusaha menjaga pandangan supaya tidak seliar singa yg sedang kelaparan. Yang lebih memiriskan, asumsi tsb dijadikan bahan obrolan. Yang tadinya asumsi berubah menjadi SEPERTI FAKTA yang diyakini kebenarannya. Yang tadinya merasuk pikiran beberapa orang, kemudian menghujam pikiran banyak orang.

Sangat bahayakah negative thinking?

Iya, sangat, sangat bahaya. paling kurang, ada dua dampak buruknya:

1. Pikiran jelek terhadap seseorang tsb melahirkan pikiran negatif lainnya. Jika seseorang sudah kita anggap buruk, maka apa saja yang ia kerjakan akan terlihat buruk di mata kita.

Seperti kasus di atas, apa saja yg guru tsb kerjakan akan dianggap jelek. Mengajar dengan suara lantang dianggap sombong. Diamnya dianggap sombong. Memberikan ide dianggap sombong. Pertanyaannya pada perlombaan dianggap sombong. Semua gaya dan gerak-geriknya dianggap suatu kesombongan.

2. Pikiran buruk melahirkan sikap buruk. sebagaimana yang telah dijelaskan, Reaksi atau sikap berawal dari pikiran. Seorang murid akan bersikap buruk terhadap gurunya, jika ia berfikiran buruk terhadapnya. Murid tsb tidak lagi menghormati gurunya. Hilang adab, Cuek, Dan bersikap kasar kepada gurunya.

Nah, coba bayangkan, jika asumsi buruk tsb diungkapkan dan disampaikan kepada orang lain. Dua hal tersebut akan menjalar dan menimpa banyak orang. Dan bagaimana nasib orang yg diasumsikan buruk tsb?

Berakhlak baik berawal dari pikiran. Maka coba dan belajarlah untuk berfikiran positif.

Abrar vs Muqarrabin

Abrar vs Muqarrabin

"Kebaikan bagi Abrar merupakan keburukan bagi Muqarrabin."

Demikian sebuah aforisme (ungkapan) yang sering terngiang di telinga para santri. Ungkapan yang tercantum dalam kitab-kitab tasawuf seperti Sirajuth Thalibin syarah Minhajul Abidin.

Memang sulit memahaminya, Sebagaimana konsep-konsep tasauf lainnya. Terasa hambar dicicipi akal. Begitu mahal konsep yang ditawarkan. Seolah akal berada di titik koordinat terendah untuk menggapainya. Kenapa kebaikan dikatakan keburukan? Bagaimana bisa ibadah disebut maksiat?

Abrar dan Muqarribin adalah Dua manusia yang sama-sama banyak ibadah zhahirnya. Tp berbeda kualitas dan kuantitas ibadah batinnya. Muqarrabin lebih mantap zuhudnya, lebih kokoh wara'nya, lebih besar ikhlasnya dan lebih sempurna tawakalnya dibandingkan dengan Abrar.

Untuk memberi sedikit gambaran dari ungkapan di atas, ada baiknya untuk memperhatikan dialog antara dua ulama besar, Ibrahim bin Adham dan Syaqiq Al-Balkhi, sebagaimana yang dinukil oleh Syaikh Ahmad Al-Hijazi dalam kitabnya, Majalisus-Saniyah.

Syaqiq bertanya kepada Ibrahim bin Adham: APA YANG KAMU LAKUKAN SEANDAINYA KAMU TIDAK MENDAPATKAN REZEKI?

Ibrahim menjawab: Jika aku diberi rezeki, aku bersyukur. Sedangkan jika aku tidak mendapat apapun, aku bersabar.

Mendengar jawaban Ibrahim bin Adham, Syaqiq berkata: APA YANG KAMU LAKUKAN ITU TIDAK ADA BEDANYA DENGAN KELAKUAN HEWAN DI NEGERIKU. JIKA MEREKA DIBERI, MEREKA SENANG (SYUKUR) DAN JIKA TIDAK DIBERI, MEREKA DIAM (SABAR)

Ibrahim bin Adham balik bertanya kepada Syaqiq Al-Balkhi dengan pertanyaan yang sama. KALAU KAMU?  APA YANG AKAN KAMU LAKUKAN?

Syaqiq menjawab: JIKA AKU DIBERI REZEKI, MAKA AKU AKAN MEMBERIKANNYA KEPADA ORANG LAIN (ITSAR). SEDANGKAN JIKA AKU TIDAK MENDAPATKAN REZEKI, AKU BERSYUKUR.

Setelah itu Ibrahim bin Adham bangkit dan mencium kepala Syaqiq, seraya berkata: "Engkau adalah guruku."

Sangat jelas terlihat perbedaan maqam (martabat) keduanya. Sikap Ibrahim, bersyukur terhadap nikmat dan bersabar diatas cobaan, dinilai salah dan buruk oleh Syaqiq Al-Balkhi. Bahkan beliau mendeskripsikan sikap tsb dengan sikap hewan di negeri beliau.

Sikap yang benar menurut Syaqiq adalah Itsar ketika kaya. Dan bersyukur ketika miskin.

Kenapa bersyukur ketika miskin? Karena miskin itu anugerah. Ketika miskin mereka tidak memiliki beban dan kewajiban. Berbeda halnya ketika mereka kaya. Mereka memiliki tanggung jawab untuk memberikan harta tsb kepada orang yang membutuhkan, orang fakir, anak yatim, dan janda. Inilah yang dimaksudkan dengan ITSAR, yakni mengutamakan kebutuhan orang lain daripada diri sendiri. Dan ini sulit. Karena sifat alamiah manusia adalah kikir ketika kaya.

Makanya Ibnu 'Athaillah berkata: JIKA SEDIKIT SESUATU (HARTA) YANG MENYENANGKAN KAMU, MAKA SEDIKIT PULA SESUATU (BEBAN) YANG MENGGUNDAHKANMU.

KARUNIA BERDASARKAN KESAKSIAN

KARUNIA BERDASARKAN KESAKSIAN

Ungkapan tersebut kami dengar dari seorang penceramah. Kata beliau, itu merupakan salah satu konsep dalam ilmu tasawuf untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Dalam menguraikan QAIDAH tsb, beliau menerangkan pentingnya menciptakan kesan baik dalam hati banyak orang. Karena semakin banyak orang yang menganggap kita baik, maka akan semakin banyak pula KARUNIA BAIK diberikan oleh Allah swt.

Setelah mencari dan merujuknya dalam beberapa kitab tasawuf tidak ditemukan ungkapan seperti itu. Namun jika dikaji dan dianalisa, ada beberapa hadis dan konsep fiqih yang mendukung ungkapan tsb. Sebelum menjelaskan interpretasi atau maksud dari ungkapan tsb, ada baiknya dikaji terlebih dahulu kevalidan dan legalitasnya dari perspektif fiqih. Karena mengingat begitu penting pesan dan kesan dari ungkapan tsb dalam rangka memperbaiki diri menjadi pribadi baik atau lebih baik.

1. Anas bin Malik berkata: para sahabat pernah melewati jenazah. lalu mereka menyanjungnya dan menyebut kebaikannya. Maka Nabi saw bersabda: "Pasti baginya."

Kemudian mereka melewati jenazah yang lain. lalu mereka mencelanya dan menyebut keburukannya. Maka Beliau pun bersabda: "Pasti baginya."

Kemudian Umar bin Khatab bertanya: "Ya Rasulullah, Apa yang pasti baginya?

Beliau menjawab: "Jenazah pertama kalian sanjung dengan kebaikan, maka pasti baginya masuk surga. Sedangkan jenazah kedua kalian menyebutnya dengan keburukan. Maka pasti baginya masuk neraka. Karena kalian adalah saksi-saksi Allah di muka bumi." (HR. Bukhari. 1278)

Pertanyaannya: Bagaimana"kesaksian atau sanjungan baik" terhadap mayit yang tidak sesuai realitanya, artinya mayit tsb org jahat?

Dalam kitab 'Umdatul Qari', Syaikh 'Aini Al-Hanafi menukilkan jawaban gurunya, Syaikh Zainuddin. KESAKSIAN BAIK MEMBERI DAMPAK POSITIF TERHADAP MAYIT, WALAUPUN TIDAK SESUAI DENGAN REALITANYA.

Yang bersaksi disyaratkan adil. Dan menurut satu pendapat, tidak disyaratkan demikian.

Nah, sanjungan atau kesaksian orang memberi manfaat kepada mayit, Apakah hal yang sama berlaku pada orang yang hidup?

2. Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bersabda: "Aku berdasarkan zhan (persepsi) hambaku kepadaku."(HR. Bukhari dan Muslim.

"Jika ia berprasangka bahwa aku akan mengampuninya, maka aku mengampuninya. Dan jika sebaliknya, ia berprasangka bahwa aku akan menyiksanya, maka aku akan menyiksanya." Demikian Penafsiran Imam 'Aini Al-Hanafi dalam kitabnya, Umdatul Qari'.

Apakah itu berlaku untuk orang lain?

Misalnya, seseorang berprasangka bahwa Allah swt telah mengampuni temannya, apakah Allah akan mengampuni dosa temannya?

3. Dalam fiqih disunnahkan menyembunyikan maksiat yang dikerjakan. Misalnya, seseorang yang berzina, maka sunnah hukumnya ia menyembunyikan dan tidak mengakuinya (ikrar). Bahkan apabila ia telah mengakuinya, sunnah baginya utk menarik pengakuannya tsb.

Dalam sebuah hadis yang dinukilkan oleh Syaikh Ibrahim dalam kitabnya, Hasyiah Al-Bajuri, Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa terjerumus pada perbuatan keji ini (zina) maka hendaknya dia menutupinya. Barangsiapa memberitahukan perbuatannya kepada kami, maka akan kami tegakkan atasnya hukuman." (Hasyiah Bajuri, halaman 5, jilid 2)

Menutup kesalahan dapat mempertahankan asumsi baik orang-orang. Makanya, semaksimal mungkin berusaha utk menutupi kesalahan dan maksiat dari orang lain. kemudian bangun di tengah malam dan bertaubat, minta ampun kepada Allah swt.

4. Dalam fiqih dianjurkan menghindari diri dari TUHMAH. Ada beberapa kasus fiqih yang berpijak di atas mawas tuhmah. Tuhmah adalah asumsi negatif.

Misalnya, tidak boleh (makruh) talqin (peuintat) bagi waris, karena dapat menimbulkan tuhmah. Namun jika orang tsb miskin dan tidak ada Harta sama sekali, maka boleh ditaqinkan oleh waris. (Hasyiah Bujairimi)

Disunnahkan MAKAN SEMBUNYI-SEMBUNYI bagi orang yang tidak puasa karena sakit atau musafir, ketika ia telah sembuh atau bermukim pada hari itu pula. Alasannya, supaya tidak timbul TUHMAH.

Harta yang disita oleh hakim dari MAHJUR 'ALAIH disunnahkan ditempatkan pada orang lain, jangan di rumah hakim, karena hal tsb dapat memunculkan TUHMAH.

Keempat sudut pandang di atas bisa dijadikan sebagai bahan komparasi bagi ungkapan, "KARUNIA BERDASARKAN KESAKSIAN."

Dan pun penceramah tsb pasti memiliki rujukan atau referensi yang valid terkait ungkapan yang beliau kemukakan tsb.

Nah, bagaimana penjelasannya?

Anggapan baik orang ramai memberi pengaruh terhadap pribadi seseorang. Semakin banyak penilaian atau kesaksian baik dari orang-orang, maka akan mudah urk mendapat karunia dari Allah swt.

Hendak berubah menjadi pribadi yang dermawan, lakukanlah perbuatan yang membuat orang lain menilai dan menganggap kita dermawan.

Hendak berubah menjadi ahli ibadah, pribadi yang rajin ibadah, Lakukanlah ibadah banyak-banyak, sehingga orang-orang meyakini kita sebagai orang yang 'ABID.

Syaikh Sulaiman, Pengarang kitab Hasyiah Jamal, kitab yang menjadi rujukan santri dalam ilmu fiqih, berkata dalam kitabnya Futuhat Ilahiyah, JIKA ALLAH SWT MENGETAHUI KEBAIKAN SEORANG HAMBA, MAKA IA AKAN MENYEBUT DAN MEMASYHURKANNYA (KEPADA HAMBA-HAMBA YANG LAIN).

Itu merupakan "adat" Allah swt. Allah swt akan mengangkat derajat orang yang melakukan kebaikan. Memperkenalkannya. Memasyhurkannya di tengah-tengah hambanya yang lain. Sehingga orang tsb populer sebagai pelaku kebaikan.

Kita sering menjumpai seseorang yang sangat dikenal oleh masyarakat dengan kebaikan. Orang-orang memujinya sebagai orang yang rajin beribadah, rajin berzikir, rajin shalat jama'ah. Abu Kuta Krueng misalnya. Beliau sangat populer dan masyhur di kalangan kita, orang Aceh, sebagai ulama yang sangat rajin ibadah.

Perkara ini, kalau boleh, kami akan memasukkannya dalam SUNNATULLAH, ketentuan Allah swt.

Nah, jika sebutan "orang baik" dan "orang yang rajin beribadah" sudah melekat dalam benak keluarga, saudara, teman-teman, khususnya para Ulama dan Waliyullah, maka hal tsb akan mengundang karunia, taufik, dan hidayah dari Allah swt, sehingga akan lebih semangat, gairah, termotivasi dan istiqamah serta mudah untuk melakukan kebaikan dan ibadah yang banyak.

Apakah ada karunia yang lebih baik daripada ini, Karunia yang akan mengantarkan seseorang untuk memperoleh surganya?

Nah, mari menciptakan penilaian baik dari orang-orang, khususnya orang-orang shalih. Perlihatkan yang baik-baik. Bukan utk takabur atau maksud keji lainnya, tp hanya semata-mata  untuk mendapatkan karunia baik dari Allah swt. BERDASARKAN KESAKSIAN."

Ungkapan tersebut kami dengar dari seorang penceramah. Kata beliau, itu merupakan salah satu konsep dalam ilmu tasawuf untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Dalam menguraikan QAIDAH tsb, beliau menerangkan pentingnya menciptakan kesan baik dalam hati banyak orang. Karena semakin banyak orang yang menganggap kita baik, maka akan semakin banyak pula KARUNIA BAIK diberikan oleh Allah swt.

Setelah mencari dan merujuknya dalam beberapa kitab tasawuf tidak ditemukan ungkapan seperti itu. Namun jika dikaji dan dianalisa, ada beberapa hadis dan konsep fiqih yang mendukung ungkapan tsb. Sebelum menjelaskan interpretasi atau maksud dari ungkapan tsb, ada baiknya dikaji terlebih dahulu kevalidan dan legalitasnya dari perspektif fiqih. Karena mengingat begitu penting pesan dan kesan dari ungkapan tsb dalam rangka memperbaiki diri menjadi pribadi baik atau lebih baik.

1. Anas bin Malik berkata: para sahabat pernah melewati jenazah. lalu mereka menyanjungnya dan menyebut kebaikannya. Maka Nabi saw bersabda: "Pasti baginya."

Kemudian mereka melewati jenazah yang lain. lalu mereka mencelanya dan menyebut keburukannya. Maka Beliau pun bersabda: "Pasti baginya."

Kemudian Umar bin Khatab bertanya: "Ya Rasulullah, Apa yang pasti baginya?

Beliau menjawab: "Jenazah pertama kalian sanjung dengan kebaikan, maka pasti baginya masuk surga. Sedangkan jenazah kedua kalian menyebutnya dengan keburukan. Maka pasti baginya masuk neraka. Karena kalian adalah saksi-saksi Allah di muka bumi." (HR. Bukhari. 1278)

Pertanyaannya: Bagaimana"kesaksian atau sanjungan baik" terhadap mayit yang tidak sesuai realitanya, artinya mayit tsb org jahat?

Dalam kitab 'Umdatul Qari', Syaikh 'Aini Al-Hanafi menukilkan jawaban gurunya, Syaikh Zainuddin. KESAKSIAN BAIK MEMBERI DAMPAK POSITIF TERHADAP MAYIT, WALAUPUN TIDAK SESUAI DENGAN REALITANYA.

Yang bersaksi disyaratkan adil. Dan menurut satu pendapat, tidak disyaratkan demikian.

Nah, sanjungan atau kesaksian orang memberi manfaat kepada mayit, Apakah hal yang sama berlaku pada orang yang hidup?

2. Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw bersabda: "Aku berdasarkan zhan (persepsi) hambaku kepadaku."(HR. Bukhari dan Muslim.

"Jika ia berprasangka bahwa aku akan mengampuninya, maka aku mengampuninya. Dan jika sebaliknya, ia berprasangka bahwa aku akan menyiksanya, maka aku akan menyiksanya." Demikian Penafsiran Imam 'Aini Al-Hanafi dalam kitabnya, Umdatul Qari'.

Apakah itu berlaku untuk orang lain?

Misalnya, seseorang berprasangka bahwa Allah swt telah mengampuni temannya, apakah Allah akan mengampuni dosa temannya?

3. Dalam fiqih disunnahkan menyembunyikan maksiat yang dikerjakan. Misalnya, seseorang yang berzina, maka sunnah hukumnya ia menyembunyikan dan tidak mengakuinya (ikrar). Bahkan apabila ia telah mengakuinya, sunnah baginya utk menarik pengakuannya tsb.

Dalam sebuah hadis yang dinukilkan oleh Syaikh Ibrahim dalam kitabnya, Hasyiah Al-Bajuri, Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa terjerumus pada perbuatan keji ini (zina) maka hendaknya dia menutupinya. Barangsiapa memberitahukan perbuatannya kepada kami, maka akan kami tegakkan atasnya hukuman." (Hasyiah Bajuri, halaman 5, jilid 2)

Menutup kesalahan dapat mempertahankan asumsi baik orang-orang. Makanya, semaksimal mungkin berusaha utk menutupi kesalahan dan maksiat dari orang lain. kemudian bangun di tengah malam dan bertaubat, minta ampun kepada Allah swt.

4. Dalam fiqih dianjurkan menghindari diri dari TUHMAH. Ada beberapa kasus fiqih yang berpijak di atas mawas tuhmah. Tuhmah adalah asumsi negatif.

Misalnya, tidak boleh (makruh) talqin (peuintat) bagi waris, karena dapat menimbulkan tuhmah. Namun jika orang tsb miskin dan tidak ada Harta sama sekali, maka boleh ditaqinkan oleh waris. (Hasyiah Bujairimi)

Disunnahkan MAKAN SEMBUNYI-SEMBUNYI bagi orang yang tidak puasa karena sakit atau musafir, ketika ia telah sembuh atau bermukim pada hari itu pula. Alasannya, supaya tidak timbul TUHMAH.

Harta yang disita oleh hakim dari MAHJUR 'ALAIH disunnahkan ditempatkan pada orang lain, jangan di rumah hakim, karena hal tsb dapat memunculkan TUHMAH.

Keempat sudut pandang di atas bisa dijadikan sebagai bahan komparasi bagi ungkapan, "KARUNIA BERDASARKAN KESAKSIAN."

Dan pun penceramah tsb pasti memiliki rujukan atau referensi yang valid terkait ungkapan yang beliau kemukakan tsb.

Nah, bagaimana penjelasannya?

Anggapan baik orang ramai memberi pengaruh terhadap pribadi seseorang. Semakin banyak penilaian atau kesaksian baik dari orang-orang, maka akan mudah urk mendapat karunia dari Allah swt.

Hendak berubah menjadi pribadi yang dermawan, lakukanlah perbuatan yang membuat orang lain menilai dan menganggap kita dermawan.

Hendak berubah menjadi ahli ibadah, pribadi yang rajin ibadah, Lakukanlah ibadah banyak-banyak, sehingga orang-orang meyakini kita sebagai orang yang 'ABID.

Syaikh Sulaiman, Pengarang kitab Hasyiah Jamal, kitab yang menjadi rujukan santri dalam ilmu fiqih, berkata dalam kitabnya Futuhat Ilahiyah, JIKA ALLAH SWT MENGETAHUI KEBAIKAN SEORANG HAMBA, MAKA IA AKAN MENYEBUT DAN MEMASYHURKANNYA (KEPADA HAMBA-HAMBA YANG LAIN).

Itu merupakan "adat" Allah swt. Allah swt akan mengangkat derajat orang yang melakukan kebaikan. Memperkenalkannya. Memasyhurkannya di tengah-tengah hambanya yang lain. Sehingga orang tsb populer sebagai pelaku kebaikan.

Kita sering menjumpai seseorang yang sangat dikenal oleh masyarakat dengan kebaikan. Orang-orang memujinya sebagai orang yang rajin beribadah, rajin berzikir, rajin shalat jama'ah. Abu Kuta Krueng misalnya. Beliau sangat populer dan masyhur di kalangan kita, orang Aceh, sebagai ulama yang sangat rajin ibadah.

Perkara ini, kalau boleh, kami akan memasukkannya dalam SUNNATULLAH, ketentuan Allah swt.

Nah, jika sebutan "orang baik" dan "orang yang rajin beribadah" sudah melekat dalam benak keluarga, saudara, teman-teman, khususnya para Ulama dan Waliyullah, maka hal tsb akan mengundang karunia, taufik, dan hidayah dari Allah swt, sehingga akan lebih semangat, gairah, termotivasi dan istiqamah serta mudah untuk melakukan kebaikan dan ibadah yang banyak.

Apakah ada karunia yang lebih baik daripada ini, Karunia yang akan mengantarkan seseorang untuk memperoleh surganya?

Nah, mari menciptakan penilaian baik dari orang-orang, khususnya orang-orang shalih. Perlihatkan yang baik-baik. Bukan utk takabur atau maksud keji lainnya, tp hanya semata-mata  untuk mendapatkan karunia baik dari Allah swt.

IBNU TAIMIYAH DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN, KAFIRKAH?

IBNU TAIMIYAH DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN, KAFIRKAH?

Ibnu Taimiyah lahir di Harran, Turki, pada hari Senin 10 Rabiu’ul Awal tahun 661H, 15 tahun sebelum wafatnya Imam Nawawi.

Akhir-akhir ini, "isu" Ibnu Taimiyah ini hangat diperbincangkan. Ada yang pro dan ada yang kontra. Yang pro Ibnu Taimiyah habis-habisan membela sang  "proklamator" dan menyerang pihak yang kontra. Bahkan mereka berani mencatut nama-nama beken dalam mazhab syafi'i.

Yang kontra pun mengcounter balik. Mereka bertujuan baik. Supaya orang-orang tidak terpengaruh dengan pemikirannya.

Apakah benar Ibnu Taimiyah sesat?

Kami akan menghadirkan beberapa interpretasi nyleneh Ibnu Taimiyah dan fatwanya yang kontroversial menurut Ulama Ahlussunnah wal jamaah.

Ibnu Taimiyah salah dalam menafsirkan hadis, "ALLAH SWT TURUN KE LANGIT PADA SEPERTINYA MALAM YANG TERAKHIR." Ia mengatakan: Yang turun adalah zat Tuhan, sebagaimana arti tekstual hadis. Dan ia juga mencaci-maki ulama yang mentakwil hadis tsb.

Ulama Khalaf mentakwilkannya. Mereka berkata: YANG TURUN ADALAH PERINTAH TUHAN, BUKAN ZATNYA. Ada juga yang mengatakan: YANG TURUN ADALAH MALAIKAT ATAU RAHMAT ALLAH SWT.

Jelas terlihat perbedaannya, Ibnu Taimiyah menafsirkannya secara ekplisit. Sedangkan ulama ahlussunnah wal jamaah melakukan takwil, yakni menafsirkannya secara implisit.

Diakhir pembahasannya, Ibnu Hajar berkata: Tidak usah peduli kepada caci-maki mereka yang tidak mendapat taufik dari Allah swt terhadap ulama Ahlussunnah yang mentakwilkan hadis tsb. Dan beliau juga menukilkan perkataan salah seorang ulama besar dalam mazhab Syafi'i abad ke-7 Hijriah, Ibnu Jama'ah, pengarang kitab Tahrirul Ahkam (kitab yang membahas permasalahan ketentaraan) dan kitab Ar-Rad 'Alal Musyabbihah (kitab yang membahas kesesatan kaum Musyabbihah/Wahabi). IBNU TAIMIYAH ADALAH SEORANG HAMBA YANG TELAH DISESATKAN OLEH ALLAH SWT. Demikian pernyataan Ibnu Jama'ah. (Tuhfatul-Muhtaj, halaman 244, jilid 2)

Imam Syarwani memberi alasan kenapa ulama khalaf melakukan takwil. Sedangkan ulama Salaf tidak mentakwilkan Ayat dan Hadis Mutasyabihat yang berkaitan dengan sifat ketuhanan, seperti: Surat Ar-Rahman, ayat 27: "Dan kekal WAJAH Tuhan kamu." Surat Al-Fath, ayat 10: "TANGAN Allah di atas tangan mereka." surat Thaha, ayat 5: "Allah BERSEMAYAM di atas Arasy."

KARENA PADA MASA ULAMA KHALAF SUDAH BERKEMBANG ALIRAN MUJASSIMAH, PAHAM YANG MENGATAKAN ALLAH SWT BERTEMPAT, MEMILIKI ARAH DAN MEMILIKI TUBUH. SEDANGKAN PAHAM TSB BELUM BERKEMBANG PADA ERA SALAF. (HASYIAH SYARWANI HALAMAN 244, JILID 2)

Perlu diketahui, SALAF adalah generasi sahabat, tabi'in, dan tabi'-tabi'in. Sedangkan setelahnya disebut GENERASI KHALAF.

Berkaitan penafsiran Ibnu Taimiyah terhadap hadis di atas, ALLAH SWT TURUN KE LANGIT PADA SEPERTINYA MALAM YANG TERAKHIR, ada satu peristiwa miris yang diceritakan oleh Ibnu Bathuthah, salah seorang ulama pengembara asal Maroko. Kalau di barat ada Marcopolo, maka di Timur ada Ibnu Bathuthah.

"Pada hari Jumat, aku menghadiri majelis taklim yang diasuh oleh Ibnu Taimiyah di mesjid jamik Damaskus, Suriah. Diantara perkataannya pada ketika itu: ALLAH TURUN KE LANGIT SEPERTI TURUNKU INI. Kemudian ia menuruni tangga satu persatu. Kemudian bangkit seorang ulama fiqih mazhab Maliki yang bernama Ibnu Zahra. Beliau membantah perkataan Ibnu Taimiyah tsb. Lalu masyarakat awam yang hadir pada saat itu bangkit dan mengeroyoki Ibnu Zahra, memukulnya dengan tangan dan sandal sampai surban yang dipakainya jatuh. Kemudian mereka membawanya ke rumah 'Izuddin bin Muslim, seorang hakim yang bermazhab hambali. Kemudian hakim tsb memenjarakan dan mentakzir Ibnu Zahra. Tidak lama berselang, keputusan sang hakim mendapat protes dari Ulama-Ulama dalam mazhab maliki dan syafi'i." Demikian kisah Ibnu Bathuthah, ulama pengembara yang pernah menjejaki kakinya di tanah Aceh pada masa pemerintahan sultan Samudra Pasai. (Rihlah Ibnu Bathuthah, halaman 371, jilid 1)

Dalam fiqih, Ibnu Taimiyah juga banyak mengeluarkan pendapat yang kontradiksi dengan IJMAK ULAMA. Salah satunya, TALAK TIGA DENGAN SEKALI UCAP,  SEPERTI KATA SUAMI: AKU TALAK TIGA KAMU, MAKA JATUH SATU MENURUT IBNU TAIMIYAH. Ia mengemukankan hadis Riwayat Imam Muslim sebagai dalilnya.

Ibnu Abbas berkata: Pada masa Rasulullah saw, Abu Bakar, dan dua tahun dari kekhalifahan Umar, TALAK TIGA JATUH SATU. Setelah itu Umar  berkata: Orang tergesa-gesa dalam urusan (talak) yang seharusnya mereka tenang. Jika kami memberlakukan suatu hukum kepada mereka, (maka itu adalah benar). Lantas mereka memberlakukannya. (HR. Muslim, 1472)

Ibnu Taimiyah tidak menempatkan hadis tsb pada proporsi yang semestinya.

Menurut ulama Hadis, "TALAK TIGA JATUH SATU" dalam hadis tsb adalah TALAK TIGA YANG DIUCAPKAN TERPISAH, MISALNYA seorang suami mengucapkan: "KAMU AKU TALAK, KAMU AKU TALAK, KAMU AKU TALAK. Maka hukumnya JATUH SATUH pada masa kekhalifahan Rasulullah saw dan Abu Bakar, Pun pada dua tahun pertama masa kekhalifahan Umar.

Kenapa jatuh satu?

Karena sudah menjadi kebiasaan mereka (sahabat Nabi saw), mereka bermaksud Taukid (meyakinkan) dengan ucapan talak yang kedua dan ketiga. Sedangkan setelahnya, yakni masa kekhalifahan Umar, mereka tergesa-tergesa dalam urusan talak. Yang menjadi adat saat itu adalah IRADAH ISTI'NAF, Artinya mereka bermaksud Isti'naf (bukan taukid) dengan ucapan talak yang kedua dan ketiga. Sehingga Umar memutuskannya JATUH TIGA. (HASYIAH SYARWANI, HALAMAN 8, JILID 8)

Semakin tidak mengerti ya???

Intinya begini. Maksud TALAK TIGA dalam Hadis tsb adalah talak yang diucapkan tiga kali secara berturut-turut, bukan talak tiga dengan sekali ucap. Maka salah, kalau menjadikan hadis tsb sebagai dalil bagi pendapat kontroversial ibnu Taimiyah, TALAK TIGA DENGAN SEKALI UCAP, HUKUMNYA ADALAH JATUH SATU.

Tidak hanya itu, Ibnu Taimiyah bahkan berani mengatakan: Ali (sahabat Nabi saw)  telah melakukan lebih dari 300 kesalahan. Umar pun tidak luput dari komentar negatif Ibnu Taimiyah.

Diantara fatwa-fatwa lain yang kontroversial dalam ranah fiqih adalah Tidak jatuh talak, jika diucapkan ketika istri sedang menstruasi. Tidak jatuh talak yang diucapkan dalam bentuk sumpah, hanya wajib bayar kifarat sumpah. Tidak jatuh talak pada masa suci, jika telah melakukan jimak pada masa suci tsb.

Tidak wajib MENGQADHA shalat yang ditinggalkan sengaja. Wanita yang sedang haid boleh melakukan tawaf dan wajib membayar kifarat. Orang yang menyalahi ijmak tidak berdosa.

Pajak perdagangan halal dan bisa dianggap sebagai zakat. Dan masih banyak lagi pendapat-pendapatnya yang menyalahi ijmak ulama. Bahkan menurut informasi, lebih dari 60 permasalahan. Untuk lebih detail, silahkan muraja'ah kitab FATAWAL HADITSIAH.

Bagaimana hukum menyalahi Ijmak? Kafirkah?

Dalam Al-Quran, Allah swt berfirman:

"...Dan (barangsiapa) mengikuti selain jalan orang-orang mukmin (Ijmak), niscaya kami biarkan mereka itu dalam kesesatan (di dunia) dan kami masukkan ke dalam neraka (di akhirat)."(QS. An-Nisa 115)

Berkaitan ayat di atas, Syaikh 'Alauddin menukilkan satu riwayat dalam kitabnya, tafsir Khazin.

IMAM SYAFI'I PERNAH DITANYAI, APAKAH ADA AYAT AL-QURAN YANG MENGINDIKASIKAN BAHWA IJMAK ULAMA BISA DIJADIKAN SEBAGAI DALIL?

KEMUDIAN IMAM SYAFI'I MEMBACA AL-QURAN SAMPAI KHATAM SEBANYAK 300 KALI, SEHINGGA BELIAU MEMUTUSKAN MENJADIKAN AYAT INI SEBAGAI JAWABAN TERHADAP PERTANYAAN TSB. (TAFSIR KHAZIN HALAMAN 427, JILID 1)

Syaikh Abdul Hamid Al-Qudusi dalam kitabnya, Lathaiful Isyarat, menyimpulkan: Orang yang mengingkari IJMAK ULAMA ada 3 macam:

1. Orang yang mengingkari IJMAK ULAMA YANG DIMAKLUMI BID-DHARURAH DALAM AGAMA. Maka orang tsb kafir/murtad.

2. Orang yang mengingkari IJMAK ULAMA YANG MANSHUS 'ALAIH DAN TELAH POPULER DI KALANGAN MANUSIA. Maka orang tsb telah menjadi kafir.

3. Orang yang mengingkari IJMAK ULAMA YANG TERSEMBUNYI DAN HANYA DIKETAHUI OLEH KALANGAN TERTENTU SAJA. Maka orang tsb tidak kafir. (Untuk penjelasan lebih detail, silahkan muraja'ah kitab-kitab syarah Minhajuth Thalibin pada Bab Riddah (murtad).

Dalam kitab Mughnil Muhtaj, Khatib Syarbaini menukilkan perkataan Imam Haramain, KAMI TIDAK MENGKAFIRKAN ORANG YANG MENOLAK IJMAK ULAMA. KAMI HANYA MENGKLAIM DIA ITU SESAT.

Belum dimukan keterangan yang secara tegas mengatakan Ibnu Taimiyah itu kafir. Imam Subki yang sangat keras menolak Ibnu Taimiyah tidak mengkafirkannya, walaupun ia (Ibnu Taimiyah) sering menyalahi IJMAK ULAMA. Beliau hanya mengatakan Ibnu Taimiyah itu sesat.

Mari menilik Komentar Imam Subki  terhadap Ibnu Taimiyah dan pendapat kontroversialnya, sebagaimana dikutip Ibnu Hajar dalam kitabnya, Fatawal-Kubra halaman 308, jilid 3.

"Aku pernah menolak laki-laki ini (Ibnu Taimiyah) ketika ia mengharamkan ziarah ke makam Rasulullah saw dan mengeluarkan pendapat, TIDAK JATUH TALAK, JIKA DIUCAPKAN DALAM BENTUK SUMPAH. Kemudian aku menemukan beberapa perkara tentang sifatnya, sehingga aku berkesimpulan: 1. IBNU TAIMIYAH TERMASUK ORANG-ORANG YANG TIDAK BISA DIPERCAYA DALAM MENUKILKAN SESUATU DAN MEMBAHAS MASALAH HUKUM. Karena ia gegabah dalam menukil dan sering keluar REL/JALUR dalam membahas. Ia giat menghafal. Hafalannya banyak, namun ia tidak terdidik melalui seorang guru (tidak berguru). Ia tidak puas-puas terhadap ILMU (memiliki antusias yang besar dalam menuntut ilmu), namun ia mengambil ilmu secara serampangan, tidak tebang pilih. 2. Kalam-kalam Ibnu Taimiyah mesti ditinggalkan semuanya. Aku tidak bermaksud apa-apa menyebut (penyimpangan-penyimpangan)nya setelah ia wafat. Tetapi (setelah melihat) ia memiliki banyak pengikut yang vokal dan mereka (pengikutnya) tidak memiliki pemahaman (makanya aku memutuskan menyebut dan membahasnya).

Demikian komentar Imam Subki yang hidup semasa dengan Ibnu Taimiyah.

Ketika kami menanyakan tentang Ibnu Taimiyah ini kepada GURU KAMI. Beliau menjawab: Ibnu Taimiyah itu bagaikan lautan. Di dalam lautan ada juga bangkai dan tidak sedikit pula kebaikannya. Yang baik diambil dan yang buruk ditinggalkan.

Makanya ada ulama-ulama mazhab Syafi'i yang mengutip kalam Ibnu Taimiyah, seperti Khatib Syarbaini.

Khatib Syarbaini mengutip pendapat Ibnu Taimiyah pada permasalahan ganja dalam kitabnya, Mughni Muhtaj. Ibnu Taimiyah berkata: Menghisap ganja termasuk dosa besar. bahkan ganja lebih buruk daripada khamar karena beberapa alasan. Diantaranya: berhenti dari ganja lebih sulit dibandingkan berhenti dari khamar. (Mughnil-Muhtaj, halaman 516, jilid 5)

Tentunya keterangan GURU KAMI itu berlaku bagi orang alim, orang yang ilmunya sudah luas dan dapat membedakan antara yang baik dan buruk, antara benar dan salah. Sedangkan bagi orang awam seperti kami, sangat tidak baik atau MUNGKIN haram membaca kitab Ibnu Taimiyah, karena hal tsb dapat membahayakan aqidah.

Apakah boleh mengatakan Ibnu Taimiyah Sesat?

Ulama seperti Imam Subki, Ibnu Jama'ah  Ibnu Hajar dll sangat wajar dan pantas mengatakannya, Karena mereka memiliki otoritas dan wewenang terhadap hal tsb. Kemampuan, pemahaman dan keluasan ilmu mereka sudah diakui oleh dunia islam lintas generasi. Mereka pasti sangat hati-hati dalam klaim SESAT. Mereka tidak akan menyematkan KLAIM tsb melainkan bagi orang-orang yang telah jelas dan terang kesesatannya seterang matahari.

Tidak demikian bagi orang awam.

Kesimpulannya: kami tidak akan mengatakan sesat Ibnu Taimiyah. Dan juga tidak akan pernah membaca dan mengutip perkataannya. Bahkan kami akan meninggalkan orang-orang yang sering mengutip kalam Ibnu Taimiyah. Dan Alhamdulillah, guru-guru kami tidak pernah melakukannya.

Keajaiban menjelang wafatnya Imam Syafi'i

Keajaiban menjelang wafatnya Imam Syafi'i

Imam syafi'i tidak hanya diakui kealimannya dikalangan fuqaha'. Para Auliya atau Waliyullah banyak yang menganut mazhab Syafi'i.

SEBAGIAN WALIYULLAH PERNAH BERMIMPI BERDIALOG DENGAN TUHAN. MEREKA BERTANYA KEPADA ALLAH SWT: DARI SEKIAN BANYAK MAZHAB, MAZHAB APA YANG HARUS KAMI IKUTI?

ALLAH SWT MENJAWAB: MAZHAB SYAFI'I.

Lebih detailnya, silahkan rujuk dalam kitab HASYIAH SYARWANI.

Hanya orang sok pinter saja yang benci dengan mazhab beliau. ABG zaman sekarang saja yang tidak menghargai kealiman beliau. Bisa dikatakan, mulai Ibnu Taimiyah dan generesi setelahnya yang telah terpengaruh pemikiran sang BAPAK PROKLAMATOR (Ibnu Taimiyah).

Pernah saya membaca beberapa artikel yang isinya kritikan yang tidak beretika terhadap pendapat Imam Syafi'i. Mereka berani menyalahkan pendapat Imam Syafi'i. Mereka mengatakan pendapat Imam Syafi'i tidak ada dalilnya. Pendapat Imam Syafi'i kontradiksi dengan hadis.

Apa yang menyebabkan mereka berani demikian? Apakah mereka menganggap lebih 'alim dari Imam Syafi'i? Apakah mereka lebih memahami Al-Quran dan Hadis daripada Imam Syafi'i?

Hanya bermodalkan satu-dua hadis yang mereka hafal, lantas mereka berani mengkritik dan mengoreksi pendapat Imam Syafi'i. Ibnu Hajar Al-'Asqalani yang menghafal lebih dari 100.000 ribu hadis saja masih mengikuti mazhab Syafi'i.

Jika kembali jauh ke belakang, Imam Bukhari saja masih mengikuti mazhab Syafi'i, padahal beliau telah menghafal lebih dari 800.000 hadis dan pengarang kitab kumpulan hadis shahih yang menjadi rujukan hukum setelah Al-Quran.

Makanya, Ulama sangat berhati-hati dalam menyikapi dua atau lebih dari pendapat Imam Syafi'i. Dalam mentarjih, menilai mana yang kuat diantara pendapat-pendapat Imam Syafi'i, para Ulama seperti Imam Nawawi memiliki metode khusus

Imam Ahmad Qulyubi menjelaskan secara rinci metode tersebut dalam kitabnya. Ada 6 metode yang menjadi rujukan ulama dalam menilai kuat atau lemah beberapa pendapat Imam Syafi'i.

1. Keterangan yang tegas dari Imam Syafi'i. Imam Syafi'i terkadang menilai sendiri mana yang kuat dari dua pendapatnya. Nah, yang kuat menurut Imam Syafi'i dijadikan sebagai pijakan utk mentarjih pendapat tsb.

2. Jika tidak ada keterangan yang tegas dari Imam Syafi'i, maka mereka akan mencari tahu mana diantara dua pendapat tsb yang difatwakan terlebih dahulu oleh Imam Syafi'i. Setelahnya, mereka akan menguatkan pendapat Yang dikeluarkan terakhir oleh Imam Syafi'i.

3. Jika cara yang kedua tidak bisa, maka mereka akan mencari keterangan lebih lanjut dari dua pendapat tsb. Apabila mereka menemukan permasalahan lain yang dijabarkan (tafri') oleh Imam Syafi'i diatas salah satu pendapatnya, maka pendapat tsb yang ditarjih oleh mereka.

4. Terkadang Imam Syafi'i menjelaskan fasid salah satu pendapatnya. Nah, Ini dijadikan sebagai alasan oleh ulama untuk mentarjih pendapat yang satunya lagi.

5. Metode selanjutnya adalah melihat, mana pendapat yang dibahas khusus oleh Imam Syafi'i. Maka pendapat tersebut yang ditarjih.

6. Metode yang terakhir adalah mencocokkan dua pendapat tsb dengan pendapat mujtahid yang lain. Nah, pendapat yang sesuai dengan mazhab lain tsb dikuatkan oleh ulama.

Para ulama tidak pernah mempertimbangkan pendapat Imam Syafi'i dengan Hadis yang mereka hafal. Mereka tahu diri dan mereka meyakini bahwa pengetahuan Imam Syafi'i dalam bidang hadis lebih hebat daripada pengetahuan mereka. Dan mereka menginsafi bahwa ketekunan dan kejelian Imam Syafi'i dalam membahas satu masalah sangat besar. Apakah ada ulama yang membaca Al-Quran khatam sebanyak 300 kali hanya utk menjawab satu pertanyaan?

Mungkin hanya Imam Syafi'i yang melakukan demikian.

Guru saya mengatakan: IMAM AHMAD BIN HAMBAL, JIKA TIDAK MENEMUKAN KETERANGAN DALAM AL-QURAN DAN HADIS, MAKA BELIAU MENJADIKAN PENDAPAT IMAM SYAFI'I SEBAGAI RUJUKAN.

Maka sungguh sangat tidak etis, jika ada orang sekarang, bermodalkan ijazah S3, berani mengatakan pendapat Imam Syafi'i tidak sesuai dengan hadis.

Ibnu Taimiyah pernah melakukan hal tsb terhadap salah satu Qaidah yang dirumus oleh Imam Syafi'i.

LAFAZH MUSYTARAK DIHAMALKAN DIATAS SEMUA MAKNANYA. Demikian konsep untuk memahami Al-Quran dan Hadis yang dicetuskan oleh Imam Syafi'i.

Ibnu Taimiyah berkomentar: IMAM SYAFI'I TIDAK MEMILIKI DALIL YANG JELAS (DALAM MENCETUSKAN QAIDAH TSB).

Ibnu Hajar Al-Haitami meresponnya dengan sangat baik. Beliau mengemukakan dalil yang sangat jelas sebagai landasan terhadap rumusan tsb.

Apakah Ibnu Taimiyah pantas bersikap demikian?

Kami tidak tahu. Tp satu hal yang pasti, KALIAN TIDAK PANTAS MENGIKUTI IBNU TAIMIYAH DALAM MENGKRITIS PENDAPAT IMAM SYAFI'I.

Mungkin pembahasannya sudah melenceng jauh dari judul. Tulisannya ngalur ngidul kemana-mana. Kembali lagi ke tema. Apa keajaiban yang terjadi menjelang wafatnya Imam Syafi'i.

IMAM RABI'AL-MURADI, SALAH SEORANG MURID IMAM SYAFI'I, BERMIMPI MENJELANG WAFAT GURUNYA. BELIAU BERMIMPI NABI ADAM ALAIHISSALAM WAFAT.

PAGINYA, IMAM RABI' MENJUMPAI ULAMA DI ZAMANNYA UNTUK MENANYAKAN PERIHAL MIMPINYA. SEORANG ULAMA BERKATA: INI MERUPAKAN PERTANDA AKAN WAFATNYA MANUSIA YANG SANGAT ALIM DI JAGAD  RAYA. KARENA ALLAH SWT TELAH MENGAJARI NABI ADAM SELURUH AL-ASMA'. TIDAK LAMA BERSELANG WAFATLAH IMAM SYAFI. Demikian cerita Imam Rabi' Muradi, sebagaimana tertuang dalam kitab Hasyiah Syarwani.

HUKUM I'ADAH (MENGERJAKAN SHALAT ZHUHUR SETELAH SHALAT JUM'AT)

I'ADAH
(MENGERJAKAN SHALAT ZHUHUR SETELAH SHALAT JUM'AT)

Melakukan shalat zhuhur setelah shalat jumat (I'adah) mengalami perkembangan yang signifikan. Yang dahulunya anti dengan i'adah, sekarang sudah membuka diri untuk mempelajarinya. Yang dulunya enggan melakukannya, sekarang sudah menerimanya. Ini berkat usaha para alim ulama yang gigih mensosialisasikan lewat mimbar dan majelis-majelis.

Namun tidak sedikit yg masih bingung bagaimana hukumnya i'adah tsb. Apakah boleh ataupun tidak. Sehingga ada sebagian yg masih ragu-ragu melakukannya, walaupun tidak mengingkarinya. Ini masih bagus, jika dibandingkan dengan orang yg tidak mengetahui dan belum mengkajinya dalam kitab-kitab ulama, tp malah mengingkarinya dan menyebut orang yg melakukannya sebagai pelaku bid'ah.

Mari merujuk dalam kitab-kitab dalam mazhab Syafi'i, mazhab yang sudah berakar kuat di Aceh, dari dulu sampai sekarang, walaupun baru-baru ini lahir ABG-ABG yang berani merongrong mazhab tsb dan hendak menggantikannya dengan mazhab "tong kosong nyaring bunyinya."

Merujuk beberapa kitab, Hukum i'adah dapat diklasifikasikan  menjadi 3 pembagian,

1. Haram.
Haram melakukan i'adah terhadap shalat jum'at MUTAYAQQAN FI SHIHATIHA, yakni shalat jum'at yang  sudah sempurna syarat dan rukunnya.

Sekedar informasi, diantara syarat sah jumat adalah dikerjakan oleh 40 (minimal) orang yang sempurna(mukallafan, hurra, zakaran, dan mustauthinan) dan tidak banyak diselenggarakan jumat (ta'adud) dalam satu daerah. Yang sudah sempurna syarat dan rukunnya dinamakan shalat jum'at MUTAYAQQAN FI SHIHATIHA.

Nah, apabila jum'at hanya dikerjakan oleh 30 orang misalnya, makanya jum'at tsb termasuk ke dalam MUKHTALAF FI SHIHATIHA, jum'at yang masih diperselisihkan oleh ulama tentang kesahihannya. Mayoritas ulama mengatakan tidak sah. Ini merupakan pendapat yang kuat.

Adapun hukum ta'adud jum'at  daerah suatu daerah tidak dibolehkan, kecuali karena 3 hal. Nah, jika terjadi ta'adud jum'at, maka yang sah adalah jum'at yg lebih dulu takbiratul ihramnya. dan yg lainnya tidak sah.

Sedangkan apabila tidak diketahui jum'at mana yg lebih dulu takbirnya, maka jum'at tsb termasuk ke dalam MASYKUK FI SHIHATIHA, jum'at yg diragukan kesahihannya.

2. sunnah
Hukumnya sunnah melakukan i'adah terhadap jum'at MUKHTALAF FI SHIHATIHA.

3. Wajib
Wajib hukumnya melakukan i'adah terhadap shalat jum'at MASYKUK FI SHIHATIHA.

Diceritakan dari guru saya, pada suatu kesempatan Abuya Muda Waly diundang sebagai khatib jum'at di mesjid rundeng. Dalam khutbahnya, Abuya berkata, "Walaupun di mesjid ini ada 1000 ahli jum'at, tetap wajib hukumnya mengerjakan shalat zhuhur setelahnya."

Kata guru kami, abuya berfatwa demikian, krn pada saat itu di kota Melaboh ada dua mesjid yg mendirikan jum'at. satu di mesjid Rundeng dan satunya lagi di mesjid taman Nurul Huda

Referensi
1. Bughyatul Mustarsyidin, halaman 79-81, cet. Haramain.

2. Mahalli, halaman 273-274 jilid, cet. Toha Putra.

Senin, 20 Maret 2017

Melupakan hafalan Al-Quran dalam perspektif Al-Quran, dosa besarkah?

Melupakan hafalan Al-Quran dalam perspektif Al-Quran, dosa besarkah?

Akhir-akhir ini, Aceh mengalami kemajuan dalam mencetak kader tahfidz Al-Quran. Banyaknya alumnus Timur tengah yang tersebar di beberapa daerah, membuat tahfidz Al-Quran di Kalangan muda-mudi semakin semarak. Ini merupakan progres besar bagi pendidikan agama di Aceh. Khususnya dayah. Sekarang sudah ada beberapa dayah yang memasukkan tahfidz ke dalam kurikulum dayah.

Ulama-ulama tempoe doeloe menjadikan tahfidz Quran sebagai syarat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yg lebih tinggi. Khususnya ilmu agama. Karena Semua ilmu agama, semuanya, berkaitan dengan Al-Quran.

Yang hendak kami singgung pada pembahasan kali ini adalah BAGAIMANA HUKUMNYA MELUPAKAN HAFALAN AL-QURAN.

Allah swt berfirman:

"Demikianlah, dahulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, dan kamu meNIS-YANkannya, jadi begitu (pula) pada hari ini kamu diNIS-YANkan (dalam neraka)." (QS. Thaha 126)

Nis-yan dalam bahasa Arab memiliki dua arti:
-Lupa
-Meninggalkan

Setelah merujuk beberapa kitab tafsir, kami menyimpulkan bahwa arti NIS-YAN dalam ayat di atas adalah MENINGGALKAN. Ini seperti sudah menjadi kesepakatan para mufassir.

Menis-yankan Al-Quran berarti meninggalkan beriman kepada Al-Quran. Dan dinis-yankan dalam neraka artinya ditinggalkan (dibiarkan) dalam neraka.

Ayat tsb merupakan jawaban Allah swt dari pertanyaan orang kafir yang dibutakan pada hari kiamat. Pertanyaannya, sebagaimana disebutkan dalam ayat sebelumnya, "Berkata ia, ya Tuhanku, kenapa engkau membangkitkan aku dalam keadaan buta, padahal aku bisa melihat sewaktu di dunia." (QS. Thaha 125)

Nah, nis-yan dalan ayat 126 tsb tidak boleh diartikan lupa, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai dalil haram dan dosa besar melupakan hafalan Al-Quran.

Ulama-ulama yang memvalidasi haram LUPA HAFALAN AL-QURAN tidak menjadikan ayat tsb sebagai landasannya. Mereka mengemukakan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Abu Daud sebgai dalilnya.

Dari Ibnu Juraij, dari Muthalib bin Hanthab, dari Anas bin Malik, Nabi saw bersabda: "Dan ditampakkan kepadaku dosa-dosa ummatku, maka tidak aku lihat dosa yang lebih besar dari satu surat atau satu ayat yang  dihafal oleh seseorang kemudian ia melupakannya." (HR. Tirmizi dan Abu Daud)

Imam Nawawi menerangkan dalam kitabnya Raudhatut-Thalibin bahwa dalam Isnad hadis tsb ada kelemahan. Artinya, status hadis tsb adalah dha'if.

Menurut kacamata ilmu MUSTHALAHUL HADIS, hadis tersebut termasuk dalam katagori HADIS MUNQATHI' dan MURSAL, bahkan menurut kami lebih dari itu, artinya bisa dikelompokkan ke dalam HADIS MU'DHAL, HADIS YANG DIGUGURKAN DUA ORANG PERAWINYA ATAU LEBIH. Bagaimana tidak, dalam isnad hadis tsb, ada perawi yang bernama Ibnu Juraij dan Muthalib bin Hanthab. Ibnu Juraij menggugurkan satu perawi. Dan Muthalib menggugurkan satu. Karena menurut Imam Daruquthni, Ibnu Juraij tidak pernah mendengar satu hadis pun dari Muthalib, sebagaimana Muthalib tidak pernah mendengar satu hadis pun dari Anas Bin Malik.

Hadis Mursal, Mungqathi' dan Mu'dhal adalah hadis dhaif.

Sebagaimana dimaklumi, hadis dha'if tidak bisa dijadikan sebagai pijakan justifikasi hukum. Kok ulama menjadikan hadis dhaif sebagai hujjah dalam masalah ini???

Ibnu Hajar memberikan jawaban dalam kitabnya, Az-Zawajir. Hadis riwayat Tirmizi dan Abu Daud di atas yang dijadikan sebagai hujjah dalam masalah ini memiliki banyak pendukung (hadis lain). Artinya, ada beberapa hadis lain yang memiliki makna yang sama dengan hadis di atas. Dan hal ini bisa menambal kedhaifan hadis di atas, sehingga bisa dijadikan sebagai hujjah.

Diantara penyokong tsb:

A. "Tidaklah seseorang membaca Al Qur'an kemudian ia menis-yankannya (melupakannya) melainkan ia bertemu Allah 'azza wajalla pada hari Kiamat dalam keadaan ajdzam (tidak memiliki argumentasi dan kebaikan)." (HR. Abu Daud) 

B. "Sebagian dosa besar yang menyebabkan umatku diazab kelak di hari kiamat adalah satu surat yang ada dalam hati mereka, kemudian mereka menis-yankannya (melupakannya). (HR. Muhammad Bin Nashir)

C. "Ditampakkan kepadaku dosa-dosa, maka tidak aku lihat dosa yang lebih besar dari (dosa) HAMIL QURAN (orang yang menghafal Al-Quran) dan (kemudian) ia menis-yankannya (melupakannya)." (HR. Ibnu Abi Syaibah)

Apakah sudah dapat disimpulkan haram? Boleh, tapi hanya sementara. Mari mengkajinya lagi.

Ada beberapa kemusykilan (ketidakpahaman) dari kesimpulan sementara tsb:

1. Bagaimana mungkin melupakan (hafalan) Al-Quran dosa besar, sedangkan menghafalnya saja sunnah?

Imam Qurthubi memberikan jawaban terhadap kemusykilan di atas. Beliau berkata: "Orang yang menghafal Al-Quran memiliki derajat yang Agung. Bagaimana tidak, ia telah memiliki nubuwah dalam dadanya dan disebut AHLULLAH, keluarga Allah swt. Maka sudah sepantasnya diberikan hukuman berat bagi mereka yang mencederai derajat tsb."

Termasuk dalam mencederainya adalah menanggalkan martabat tsb dengan melupakan hafalan Al-Quran.

Kalkulasinya, SEMAKIN BESAR KEMULIAN YANG INGIN DICAPAI, MAKA SEMAKIN BESAR RESIKO YANG SIAP MENGHADANG. Lebih kurang demikian yang hendak disampaikan oleh Imam Qurthubi.

2. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Alangkah celakanya seorang yang mengatakan, 'Aku lupa ayat ini dan ini.' Akan tetapi hendaklah ia mengatakan, 'Aku telah dilupakan.'"(HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadis ini, Seolah-olah Nabi saw tidak mempermasalahkan "LUPA".

Apakah hadis ini tidak kontradiksi dengan hadis sebelumnya?

Jawabanya, TIDAK. Karena secara substansi, hadis tsb mengajarkan adab dan tatakrama terhadap Allah swt. Dalam tauhid, seseorang wajib mengiktiqadkan segala sesuatu itu berasal dari Allah swt.

Nah, ketika seseorang berkata: "Aku lupa ayat ini dan ini" menimbulkan kesan bahwa ada sesuatu yang tidak berasal dari Allah swt. Dan inilah yang dikoreksi oleh Nabi saw. Nabi saw tidak menyinggung, Apakah lupa Al-Quran dosa besar atau tidak?

Demikian jawaban Ibnu Hajar dalam kitabnya, Al-Fatawal Kubra.

3. Pada suatu malam Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mendengar seorang laki-laki membaca (Al Qur`an), maka beliau pun bersabda: "Semoga Allah memberinya rahmat. Ia telah mengingatkanku ayat ini dan ini. Yakni ayat yang aku lupa dari surat ini dan surat itu." (HR. Muslim)

Hadis ini mengindikasikan bahwa Nabi saw pernah lupa hafalan Al-Quran. Jika lupa itu haram dan dosa besar, apakah Nabi saw mungkin lupa?

Menurut Ibnu Hajar, lupa yang diharamkan adalah LUPA BILKULLIAH. Seseorang dikatakan LUPA BILKULLIAH apabila ia tidak mengingatnya lagi walaupun dibacakan ayat tsb. Ia baru mengingatnya kembali, apabila ia menghafal kembali seperti sebelumnya.

Sedangkan lupa Nabi saw, sebagaimana dilalah hadis di atas, tidak demikian. Karena Nabi saw ketika mendengarnya sekali, maka hafalannya kembali seperti sediakala. Lupa semacam ini dalam bahasa arab disebut SAHWU. Sedangkan lupa yang diharamkan dalam bahasa arab disebut NISYAN.

Nah, masih menurut Ibnu Hajar, hadis di atas mengisyaratkan bolehnya SAHWU QURAN.

Demikian jawaban Ibnu Hajar dalam kitabnya, Al-Fatawal Kubra.

Sedikit tambahan, lupa Nabi saw dalam hadis di atas bukan merupakan aib, karena lupa tsb dalam rangka menjelaskan hukum syariat. Dan ini boleh saja menimpa Nabi saw dan bukan merupakan aib.

Ada sebagian teungku-teungku yang menafsirkan LUPA YANG DIHARAMKAN dengan tafsiran yang lain. Mereka mengatakan: LUPA YANG DIHARAMKAN ADALAH TIDAK MENGINGAT DAN TIDAK BISA LAGI MEMBACA AL-QURAN WALAUPUN MELIHAT MUSHAF. Artinya, lupa yang diharamkan adalah lupa yang diberangi hilangnya kemampuan membaca Al-Quran.

Penafsiran ini telah disanggah dan disangkal oleh Ibnu Hajar berabad-abad  yang silam di dalam kitabnya, Al-Fatawal Kubra. Beliau berkesimpulan, LUPA ITU DIHARAMKAN WALAUPUN MASIH BISA MEMBACA AL-QURAN DENGAN MELIHATNYA LANGSUNG DALAM MUSHAF.

Dapat diambil inferensi, HUKUM LUPA AL-QURAN ADALAH HARAM DAN TERMASUK DOSA BESAR YANG DAPAT MENGHILANGKAN 'ADALAH SESEORANG.

Ini adalah kesimpulan Imam Nawawi dan Imam Rafi'i. Makanya, jika merujuk kitab-kitab Ulama Mutaakhirin, seperti Syaikh Zakariya Al-Anshari dalam Asna Mathalibnya, Imam Ramli dalam Nihayahnya, Khatib Syarbaini dalam Mughninya, dan yang lainnya, tidak ditemukan kesimpulan yang berbeda dengan kesimpulan di atas.

Kenapa demikian?

Karena apa yang telah disepakati oleh keduanya (Nawawi dan Rafi'i) menempati kedudukan yang tertinggi dalam mazhab Syafi'i. Dimana ulama setelahnya tidak ada yang berani menyalahinya kecuali ada dalil yang benar-benar valid nan otentik. Dan kami pribadi belum menemukan keterangan dan penjelasan dari guru-guru mengenai adanya ulama yang demikian.

Ya, kalau ada yang berani pun, dapat dipastikan mereka dari kelompok "TONG KOSONG NYARING BUNYINYA." Mereka begitu sembrono ketika mengkritisi keduanya, Nawawi dan Rafi'i.

Kenapa keduanya begitu istimewa? 

Untuk menjawab mungkin perlu pembahasan khusus. Insya Allah, kami akan berusaha membuatnya di masa-masa yang akan datang.

Kembali lagi ke pembahasan di atas. Kami masih memiliki satu kemusykilan terhadap kesimpulan tsb. Ada satu hal yang belum bisa kami pahami.

Kenapa para ulama menafsirkan nis-yan dalam hadis tsb dengan LUPA? Padahal bisa juga diartikan dengan meninggalkan, yakni meninggalkan mengamalkan isi kandungan Al-Quran, sebagaimana penafsiran Abu Syamah, guru Imam Nawawi dan murid Ibnu Shalah. Kenapa ulama tidak memimilih interpretasi Abu Syamah? Sebagaimana disinggung pada awal, arti dari nis-yan ada dua, lupa dan meninggalkan.

Sederhananya, Apa murajjih, penyokong, landasan, dan rujukan para pembesar ulama tsb dalam menentukan arti nis-yan adalah lupa, bukan meninggalkan? Karena, ketika satu kata memiliki dua kemungkinan tafsir, maka untuk memilih salah satunya membutuhkan murajjih dan rujukan.

Kami belum menemukan jawaban dari kemusykilan tsb. Nah, bagi gure-gure yang telah mengetahu jawabannya, mohon inbok kami atau menulisnya di komentar.

Kemusykilan tetaplah kemusykilan. Ia tidak dapat menggugat justifikasi.

Sekali lagi kami ulang, Natijahnya: HUKUM MELUPAKAN HAFALAN AL-QURAN ADALAH HARAM DAN DOSA BESAR YANG DAPAT MERUNTUHKAN 'ADALAH.

Semoga kesimpulan ini tidak mengurangi minat menghafal Al-Quran. Karena menghafal Al-Quran memiliki keutamaan yang luar biasa. Karena tidak ada seorang ahli ibadah pun yang berhak menyandang gelar yang sangat prestisius, AHLULLAH, selain penghafal Al-Quran.

Di samping itu,  penghafal Al-Quran diberi kemudahan dalam memahami ilmu agama. Makanya, sangat dianjurkan bagi para penuntut ilmu untuk menghafal Al-Quran. Dan kami pribadi memiliki cita-cita dan minat yang kuat untuk menghafal Al-Quran. Namun cita-cita tsb belum bisa kami wujudkan sekarang, karena keterbatasan kemampuan dan waktu.

Jika menghafalnya membutuhkan usaha 100%, maka sudah barang tentu untuk menjaganya membutuhkan usaha lebih dari itu, 1 juta persen.

Referensi:
1. Az-Zawajir, halaman 199-202, jilid 1
2. Al-Fatawal Kubra, halaman 57, jilid 1
3. Mughnil Muhtaj, halaman 346, jilid 6
4. Hasyiah Qulyubi, halaman 320, jilid 4
5. Asnal Mathalib, halaman 64, jilid 1
6. Nihayatuz Zain, halaman 385
7. Al-Itqan, halaman 363
8. Hasyiah Jalalain, halaman 82, jilid 3
9. Al-Khazin, halaman 217, jilid 3
10. Tafsir Bhaghwi, halaman 379, jilid 3

Minggu, 19 Maret 2017

MENGURUSI JENAZAH YANG KETIKA HIDUPNYA MEMILIH PEMIMPIN KAFIR DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN, HARAMKAH?

MENGURUSI JENAZAH YANG KETIKA HIDUPNYA MEMILIH PEMIMPIN KAFIR DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN, HARAMKAH?

Ada yang meminta pembahasan tentang hukum mengurusi jenazah yang ketika hidupnya memilih pemimpin kafir. Apakah haram atau tidak?

Sebelum membahas hukum tsb, alangkah baiknya terlebih dahulu membahas hukum memilih pemimpin kafir. Apakah boleh atau  tidak?  Apakah berimplikasi murtad atau tidak?

Ayat yang bisa dirujuk dalam permasalahan ini sangat banyak, lebih sepuluh. Di antaranya: Surat Al-Maidah ayat 51 dan Al-'Imran ayat 28.

Allah swt berfirman:

"Janganlah orang-orang mu'min mengambil orang kafir menjadi AULIYA. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari Allah swt." (QS. AL-'IMRAN 28)

Kata AULIYA dalam ayat tsb artinya penolong, sebagaimana penafsiran Syaikh 'Alauddin dalam tafsirnya, Khazin. Setelah merujuk beberapa kitab tafsir, belum ditemukan arti pemimpin bagi AULIYA dalam ayat tsb.

Ayat ini turun berkaitan dengan 'Ubadah bin Shalih, salah seorang sahabat Nabi saw yang mengikuti perang Badar. Beliau ini memiliki aliansi atau teman dari pihak kafir.

Menjelang perang Ahzab, 'Ubadah menjumpai Nabi saw dan mengusulkan ide untuk meminta bantuan dari aliansinya yang berjumlah 500 orang (semuanya kafir). Kemudian turun ayat ini, yang secara eksplisit melarang ide tsb. (Khazin) 

Meminta pertolongan orang kafir Berakibat lemahnya kepercayaan kepada kaum muslimin. Nah, ketika percayaan ini hilang, maka ia akan cenderung kepada orang kafir dan sifat-sifatnya (kekafiran). Ini sangat bahaya. Ada sebuah maqalah (perkataan): RIDHA KEPADA KEKAFIRAN ADALAH KEKAFIRAN.

Sifat alamiah manusia memang demikian. senang dan Cinta kepada orang yang membantunya. Lama-lama, kecintaan tsb menarik ia untuk mencintai apa saja yg org tsb lakukan. Sampai pada batas ia suka dan tidak mempermasalahkan keimanan org tsb. Ia akan menganggapnya sama antara iman dan kekafiran. Ini sangat-sangat bahaya. Wal-'iyazu billah.

Berkaitan ayat 51 surat Al-Maidah, Imam Qurtubi meriwayatkan dialog menarik antara khalifah, Umar bin Khatab, dan salah seorang pembantu beliau, Abu Musa Al-asy'ari yang menjabat sebagai gubernur Basharah. Keduanya merupakan sahabat utama Nabi saw.

Abu Musa: Wahai khalifah, sekretarisku adalah seorang Nashrani.

Umar: Apa alasan kamu mengangkat seorang Nashrani sebagai sekretaris?  Kenapa tidak seorang muslim?  Apakah kamu tidak mendengar firman Allah swt: "JANGANLAH KALIAN MENJADIKAN ORANG YAHUDI DAN NASHRANI SEBAGAI PENOLONG."

Abu Musa: Baginya agamanya dan aku hanya memakai jasanya.

Umar: Aku tidak akan memuliakan, jika Allah swt telah menghinakan mereka. Aku tidak akan meninggikan, jika Allah swt telah merendahkan mereka. Aku tidak akan mendekati, jika Allah swt telah menjauhi mereka.

Abu Musa: wahai khalifah, suksesnya birokrasi Basharah karena ada dia.

Umar: Apa yg akan kamu lakukan seandainya ia mati? Apa yang bisa kamu perbuat? Maka gantilah sekarang. Carilah yang lain.

Dalam dialog di atas, Umar secara tegas memerintahkan Abu Musa untuk memecat orang nashrani tsb.

Bagaimana Kajian Fiqihnya?

Disebutkan dalam kitab fiqih Syafi'i, khususnya Syarah-syarah minhajuth Thalibin, "ISLAM adalah syarat pertama untuk menjadi pemimpin." Bahkan, Qadhi 'Iyadh berkata: TELAH IJMAK ULAMA TERHADAP DUA PERKARA: PERTAMA, TIDAK SAH KEPEMIMPINAN ORANG KAFIR DAN YANG KEDUA, JIKA SEORANG PEMIMPIN MUSLIM MENJADI MURTAD, MAKA IA TERPECAT DENGAN SENDIRINYA.

Ketentuan ini sangat logis. Bagaimana bisa seseorang mengurusi islam dan kaum muslimin, jika ia kafir. Tentunya fanatisme kesukuan dan agama ada dalam dirinya. Ini naluriah. Memang tidak dapat dipungkiri.

Bagaimana hukumnya memilih pemimpin non muslim?

Dalam kitabnya, Imam Syarwani mengutip pendapat salah seorang ulama besar dalam mazhab Syafi'i, Syaikh 'Ali Syibrammulasi: Sedemikian, HARAM MENGANGANGKAT ORANG KAFIR SEBAGAI PENGURUS MASALAH KAUM MUSLIMIN. Secara tekstual ('Ibarat), nukilan diatas mengindikasikan adanya khilaf pendapat pada masalah tsb. Karena kata "KADZA" Atau "SEDEMIKIAN mengisyaratkan adanya khilaf pendapat terhadap masalah setelahnya. Namun sejauh ini, kami belum menemukan adanya pendapat yang secara tegas membolehkanya.

Syaikh 'Ali Shabuni, pakar tafsir kontemporer, mengatakan: Ulama menjadikan ayat di atas sebagai dalil dan landasan tidak boleh hukumnya menjadikan orang kafir sebagai pekerja (tukang dll), pelayan dan tidak boleh memberikan mereka jabatan untuk mengurusi kaum muslimin.

Apakah benar haram?  Padahal ayat tsb hanya melarang menjadikan orang kafir sebagai penolong, knp bisa disimpulkan haram memilih pemimpin muslim?

Meminta pertolongan tidak boleh, apalagi mengangkat mereka sebagai pemimpin. Menurut kami, ini termasuk dalam QIYAS 'ILAT atau Dalam istilah yang lain disebut FAHWAL KHITAB atau TAMBIHUL ADNA 'ALAL A'LA. Contoh QIYAS 'ILAT: Haram memukul orang tua. Padahal dalam Al-Quran, Allah swt hanya melarang berkata "AH" pada orang tua. Maka sangat tidak logis, jika berkata AH haram, tp memukul tidak. Begitu juga dalam masalah ini. Absurd rasanya, jika menjadikan mereka penolong haram, tp boleh menjadikan mereka sebagai pemimpin. Apakah pemimpin bukan penolong bagi rakyatnya.

Ayat di atas, bisa juga dianalisa dari kacamata Qaidah Usul Fiqih yang lain. Qaidah tsb berbunyi: BOLEH MENJADIKAN SUATU AYAT SEBAGAI DALIL BAGI PERMASALAHAN LAIN YANG TIDAK TERMASUK DALAM KONTEKS ATAU MAKSUD AYAT TSB.

Syaikh Jamaluddin dalam kitabnya, Tahqiq 'alal Luma', memberikan contoh, ayat 24 surat Al-Anfal:

"Jawablah (seruan) Allah dan Rasul, jika menyeru kalian." Konteks ayat ini adalah perintah menjawab seruan perang dari Allah swt dan Rasul saw. Singkatnya, kewajiban berperang. Namun Rasulullah saw menjadikan ayat tsb sebagai dalil terhadap permasalan yang lain.

Pada satu kesempatan, Rasulullah saw bertemu Abu Zar. Lalu beliau memberi salam. Abu Zar yang sedang shalat tidak menjawab salam beliau. Setelah shalat Rasulullah bertanya, "Apakah yang menyebabkan kamu tidak menjawab salamku." Abu Zar menjawab: "Tadi aku sedang shalat ya Rasulullah." Rasulullah saw bersabda: "Apakah kamu belum mendengar Firman Allah swt, "Jawablah (seruan) Allah dan Rasul, jika menyeru kalian."

Nah, Qaidah usul fiqh ini bisa dijadikan sebagai "TAMPARAN" jika ada yang bersikeras dan berkata: "ayat 28, surat Taubah tsb, konteksnya adalah melarang menjadikan orang kafir sebagai teman atau penolong. Jadi tidak boleh dijadikan sebagai dalil haramnya memilih pemimpin non muslim."

Apakah menjadi murtad orang memilih orang kafir sebagai pemimpin?

Di akhir ayat, Allah swt berfirman:
"Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari Allah swt."

Imam Tsa'labi dan Suyuti menafsirkannya, LEPAS DARI AGAMA ALLAH SWT. Artinya MURTAD. Namun Imam Tsa'labi berkata: "Ini berlaku bagi orang-orang muslim yang saling bantu-membantu dan bahu-membahu dengan orang kafir untuk menghancurkan kaum muslimin." Seperti Abdullah bin Ubay yang berkoalisi dengan orang kafir. Ia memberitahu rahasia, strategi perang, kelemahan dan aib kaum muslimin kepada kaum muslimin.

Ada yang menafsirkannya, Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari bantuan Allah swt." Sebagaimana Interpretasi Imam Fakhruddin Razi dalam tafsirnya, Mafatihul Ghaib.

Kesimpulannya: HARAM HUKUMNYA MENGANGKAT PEMIMPIN NON MUSLIM. TP TIDAK SAMPAI MENJADI MURTAD.

Nah, jangan sekali-kali menuduh mereka kafir, munafik atau murtad. Karena tuduhan seperti itu, kalau tidak benar, maka akan kembali kepada yang menuduh. Hati-hati!!!

Bagaimana hukumnya mengurus jenazah mereka?

Allah swt berfirman:
"Dan janganlah kamu sekali-kali menshalati (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik."(QS. At-Taubah 84)

Dalam tafsir Khazin ada sebuah riwayat, bahwa Nabi saw menshalati jenazah Abdullah bin Ubay. Ketika Nabi berdiri, Umar bin Khatab meloncat ke arah Nabi saw dan berkata: Apakah engkau akan menshalati Abdullah bin Ubay?  Padahal dulu ia sering melontarkan kata-kata menyakitkan. Lalu Nabi saw tersenyum dan berkata: Mundurlah wahai Umar. Aku terus mengulang pertanyaan tsb. kemudian beliau berkata: "Aku telah diberi pilihan dan aku akan memilih. seandainya aku mengetahui bahwa ia akan diampuni jika aku meminta ampun untuknya lebih 70 kali, maka aku akan melakukannya. Lalu Nabi menshalatinya. Tidak lama kemudian turun ayat 84 tsb. Dan setelah itu, Nabi saw tidak pernah lagi menshalati jenazah orang munafik. Di akhir riwayat disebutkan bahwa Umar merasa heran kenpa ia berani bersikap seperti itu kepada Nabi saw.

Oleh ulama mazhab Syafi'i seperti Jalaluddin Al-Mahalli, Khatib Syarbaini, Imam Ramli dan Ibnu Hajar Al-Haitami, menjadikan ayat tsb sebagai dalil haram menyalati jenazah orang kafir, kafir harbi atau zimmi atau yang sejenisnya.

Bagaimana memandikan, mengkafankan dan menguburkan Jenazah kafir?

Tidak wajib! Namun dibolehkan. Karena Nabi saw memerintahkan Ali untuk memandikan ayahnya, Abu Thalib dan mengkafankannya.

Bahkan kafir Zimmi, Wajib hukumnya mengkafani dan menguburkannya. Adapun menguburkan murtad dan kafir harbi boleh hukumnya, bahkan sunnah, supaya tidak terganggu kaum muslimin dengan bau bangkai keduanya.

Sedangkan jenazah muslim wajib dimandikan, dikafani, dishalati dan dikebumikan, walaupun muslim tsb telah melakukan dosa besar. Selama muslim tsb masih beragama islam, tidak ada satu alasan pun untuk tidak mengurusi jenazah mereka.

Seandainya, ini seandainya ya. seandainya ada jenazah muslim yang tidak wajib diurusi, maka itu adalah jenazah, pembunuh, orang yang tidak shalat dan orang yg sudah berkeluarga berzina. Karena ketiga orang tersebut dikenakan hukuman mati. Pembunuh hukumannya qishas. Yang tidak shalat hukumannya adalah penggal kepala. yang berzina dirajam. Apakah ada hukum seberat itu bagi seorang muslim? Tidak!!!  Tapi Jenazah ketiganya juga wajib diurusi.

Referensi:

1. Hasyiah Syarwani
2. Rawai'ul Bayan
3. Tafsir Qurtubi
4. Tafsir Khazin
5. Mahalli
6. Mughnil Muhtaj
7. Nihayatul Muhtaj
8. Tuhfatul Muhtaj
9. Tafsir Tsa'labi
10. Mafatihul Ghaib
11. Tafsir Jalalain