Senin, 20 Maret 2017

Melupakan hafalan Al-Quran dalam perspektif Al-Quran, dosa besarkah?

Melupakan hafalan Al-Quran dalam perspektif Al-Quran, dosa besarkah?

Akhir-akhir ini, Aceh mengalami kemajuan dalam mencetak kader tahfidz Al-Quran. Banyaknya alumnus Timur tengah yang tersebar di beberapa daerah, membuat tahfidz Al-Quran di Kalangan muda-mudi semakin semarak. Ini merupakan progres besar bagi pendidikan agama di Aceh. Khususnya dayah. Sekarang sudah ada beberapa dayah yang memasukkan tahfidz ke dalam kurikulum dayah.

Ulama-ulama tempoe doeloe menjadikan tahfidz Quran sebagai syarat untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yg lebih tinggi. Khususnya ilmu agama. Karena Semua ilmu agama, semuanya, berkaitan dengan Al-Quran.

Yang hendak kami singgung pada pembahasan kali ini adalah BAGAIMANA HUKUMNYA MELUPAKAN HAFALAN AL-QURAN.

Allah swt berfirman:

"Demikianlah, dahulu telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, dan kamu meNIS-YANkannya, jadi begitu (pula) pada hari ini kamu diNIS-YANkan (dalam neraka)." (QS. Thaha 126)

Nis-yan dalam bahasa Arab memiliki dua arti:
-Lupa
-Meninggalkan

Setelah merujuk beberapa kitab tafsir, kami menyimpulkan bahwa arti NIS-YAN dalam ayat di atas adalah MENINGGALKAN. Ini seperti sudah menjadi kesepakatan para mufassir.

Menis-yankan Al-Quran berarti meninggalkan beriman kepada Al-Quran. Dan dinis-yankan dalam neraka artinya ditinggalkan (dibiarkan) dalam neraka.

Ayat tsb merupakan jawaban Allah swt dari pertanyaan orang kafir yang dibutakan pada hari kiamat. Pertanyaannya, sebagaimana disebutkan dalam ayat sebelumnya, "Berkata ia, ya Tuhanku, kenapa engkau membangkitkan aku dalam keadaan buta, padahal aku bisa melihat sewaktu di dunia." (QS. Thaha 125)

Nah, nis-yan dalan ayat 126 tsb tidak boleh diartikan lupa, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai dalil haram dan dosa besar melupakan hafalan Al-Quran.

Ulama-ulama yang memvalidasi haram LUPA HAFALAN AL-QURAN tidak menjadikan ayat tsb sebagai landasannya. Mereka mengemukakan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Abu Daud sebgai dalilnya.

Dari Ibnu Juraij, dari Muthalib bin Hanthab, dari Anas bin Malik, Nabi saw bersabda: "Dan ditampakkan kepadaku dosa-dosa ummatku, maka tidak aku lihat dosa yang lebih besar dari satu surat atau satu ayat yang  dihafal oleh seseorang kemudian ia melupakannya." (HR. Tirmizi dan Abu Daud)

Imam Nawawi menerangkan dalam kitabnya Raudhatut-Thalibin bahwa dalam Isnad hadis tsb ada kelemahan. Artinya, status hadis tsb adalah dha'if.

Menurut kacamata ilmu MUSTHALAHUL HADIS, hadis tersebut termasuk dalam katagori HADIS MUNQATHI' dan MURSAL, bahkan menurut kami lebih dari itu, artinya bisa dikelompokkan ke dalam HADIS MU'DHAL, HADIS YANG DIGUGURKAN DUA ORANG PERAWINYA ATAU LEBIH. Bagaimana tidak, dalam isnad hadis tsb, ada perawi yang bernama Ibnu Juraij dan Muthalib bin Hanthab. Ibnu Juraij menggugurkan satu perawi. Dan Muthalib menggugurkan satu. Karena menurut Imam Daruquthni, Ibnu Juraij tidak pernah mendengar satu hadis pun dari Muthalib, sebagaimana Muthalib tidak pernah mendengar satu hadis pun dari Anas Bin Malik.

Hadis Mursal, Mungqathi' dan Mu'dhal adalah hadis dhaif.

Sebagaimana dimaklumi, hadis dha'if tidak bisa dijadikan sebagai pijakan justifikasi hukum. Kok ulama menjadikan hadis dhaif sebagai hujjah dalam masalah ini???

Ibnu Hajar memberikan jawaban dalam kitabnya, Az-Zawajir. Hadis riwayat Tirmizi dan Abu Daud di atas yang dijadikan sebagai hujjah dalam masalah ini memiliki banyak pendukung (hadis lain). Artinya, ada beberapa hadis lain yang memiliki makna yang sama dengan hadis di atas. Dan hal ini bisa menambal kedhaifan hadis di atas, sehingga bisa dijadikan sebagai hujjah.

Diantara penyokong tsb:

A. "Tidaklah seseorang membaca Al Qur'an kemudian ia menis-yankannya (melupakannya) melainkan ia bertemu Allah 'azza wajalla pada hari Kiamat dalam keadaan ajdzam (tidak memiliki argumentasi dan kebaikan)." (HR. Abu Daud) 

B. "Sebagian dosa besar yang menyebabkan umatku diazab kelak di hari kiamat adalah satu surat yang ada dalam hati mereka, kemudian mereka menis-yankannya (melupakannya). (HR. Muhammad Bin Nashir)

C. "Ditampakkan kepadaku dosa-dosa, maka tidak aku lihat dosa yang lebih besar dari (dosa) HAMIL QURAN (orang yang menghafal Al-Quran) dan (kemudian) ia menis-yankannya (melupakannya)." (HR. Ibnu Abi Syaibah)

Apakah sudah dapat disimpulkan haram? Boleh, tapi hanya sementara. Mari mengkajinya lagi.

Ada beberapa kemusykilan (ketidakpahaman) dari kesimpulan sementara tsb:

1. Bagaimana mungkin melupakan (hafalan) Al-Quran dosa besar, sedangkan menghafalnya saja sunnah?

Imam Qurthubi memberikan jawaban terhadap kemusykilan di atas. Beliau berkata: "Orang yang menghafal Al-Quran memiliki derajat yang Agung. Bagaimana tidak, ia telah memiliki nubuwah dalam dadanya dan disebut AHLULLAH, keluarga Allah swt. Maka sudah sepantasnya diberikan hukuman berat bagi mereka yang mencederai derajat tsb."

Termasuk dalam mencederainya adalah menanggalkan martabat tsb dengan melupakan hafalan Al-Quran.

Kalkulasinya, SEMAKIN BESAR KEMULIAN YANG INGIN DICAPAI, MAKA SEMAKIN BESAR RESIKO YANG SIAP MENGHADANG. Lebih kurang demikian yang hendak disampaikan oleh Imam Qurthubi.

2. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Alangkah celakanya seorang yang mengatakan, 'Aku lupa ayat ini dan ini.' Akan tetapi hendaklah ia mengatakan, 'Aku telah dilupakan.'"(HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadis ini, Seolah-olah Nabi saw tidak mempermasalahkan "LUPA".

Apakah hadis ini tidak kontradiksi dengan hadis sebelumnya?

Jawabanya, TIDAK. Karena secara substansi, hadis tsb mengajarkan adab dan tatakrama terhadap Allah swt. Dalam tauhid, seseorang wajib mengiktiqadkan segala sesuatu itu berasal dari Allah swt.

Nah, ketika seseorang berkata: "Aku lupa ayat ini dan ini" menimbulkan kesan bahwa ada sesuatu yang tidak berasal dari Allah swt. Dan inilah yang dikoreksi oleh Nabi saw. Nabi saw tidak menyinggung, Apakah lupa Al-Quran dosa besar atau tidak?

Demikian jawaban Ibnu Hajar dalam kitabnya, Al-Fatawal Kubra.

3. Pada suatu malam Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mendengar seorang laki-laki membaca (Al Qur`an), maka beliau pun bersabda: "Semoga Allah memberinya rahmat. Ia telah mengingatkanku ayat ini dan ini. Yakni ayat yang aku lupa dari surat ini dan surat itu." (HR. Muslim)

Hadis ini mengindikasikan bahwa Nabi saw pernah lupa hafalan Al-Quran. Jika lupa itu haram dan dosa besar, apakah Nabi saw mungkin lupa?

Menurut Ibnu Hajar, lupa yang diharamkan adalah LUPA BILKULLIAH. Seseorang dikatakan LUPA BILKULLIAH apabila ia tidak mengingatnya lagi walaupun dibacakan ayat tsb. Ia baru mengingatnya kembali, apabila ia menghafal kembali seperti sebelumnya.

Sedangkan lupa Nabi saw, sebagaimana dilalah hadis di atas, tidak demikian. Karena Nabi saw ketika mendengarnya sekali, maka hafalannya kembali seperti sediakala. Lupa semacam ini dalam bahasa arab disebut SAHWU. Sedangkan lupa yang diharamkan dalam bahasa arab disebut NISYAN.

Nah, masih menurut Ibnu Hajar, hadis di atas mengisyaratkan bolehnya SAHWU QURAN.

Demikian jawaban Ibnu Hajar dalam kitabnya, Al-Fatawal Kubra.

Sedikit tambahan, lupa Nabi saw dalam hadis di atas bukan merupakan aib, karena lupa tsb dalam rangka menjelaskan hukum syariat. Dan ini boleh saja menimpa Nabi saw dan bukan merupakan aib.

Ada sebagian teungku-teungku yang menafsirkan LUPA YANG DIHARAMKAN dengan tafsiran yang lain. Mereka mengatakan: LUPA YANG DIHARAMKAN ADALAH TIDAK MENGINGAT DAN TIDAK BISA LAGI MEMBACA AL-QURAN WALAUPUN MELIHAT MUSHAF. Artinya, lupa yang diharamkan adalah lupa yang diberangi hilangnya kemampuan membaca Al-Quran.

Penafsiran ini telah disanggah dan disangkal oleh Ibnu Hajar berabad-abad  yang silam di dalam kitabnya, Al-Fatawal Kubra. Beliau berkesimpulan, LUPA ITU DIHARAMKAN WALAUPUN MASIH BISA MEMBACA AL-QURAN DENGAN MELIHATNYA LANGSUNG DALAM MUSHAF.

Dapat diambil inferensi, HUKUM LUPA AL-QURAN ADALAH HARAM DAN TERMASUK DOSA BESAR YANG DAPAT MENGHILANGKAN 'ADALAH SESEORANG.

Ini adalah kesimpulan Imam Nawawi dan Imam Rafi'i. Makanya, jika merujuk kitab-kitab Ulama Mutaakhirin, seperti Syaikh Zakariya Al-Anshari dalam Asna Mathalibnya, Imam Ramli dalam Nihayahnya, Khatib Syarbaini dalam Mughninya, dan yang lainnya, tidak ditemukan kesimpulan yang berbeda dengan kesimpulan di atas.

Kenapa demikian?

Karena apa yang telah disepakati oleh keduanya (Nawawi dan Rafi'i) menempati kedudukan yang tertinggi dalam mazhab Syafi'i. Dimana ulama setelahnya tidak ada yang berani menyalahinya kecuali ada dalil yang benar-benar valid nan otentik. Dan kami pribadi belum menemukan keterangan dan penjelasan dari guru-guru mengenai adanya ulama yang demikian.

Ya, kalau ada yang berani pun, dapat dipastikan mereka dari kelompok "TONG KOSONG NYARING BUNYINYA." Mereka begitu sembrono ketika mengkritisi keduanya, Nawawi dan Rafi'i.

Kenapa keduanya begitu istimewa? 

Untuk menjawab mungkin perlu pembahasan khusus. Insya Allah, kami akan berusaha membuatnya di masa-masa yang akan datang.

Kembali lagi ke pembahasan di atas. Kami masih memiliki satu kemusykilan terhadap kesimpulan tsb. Ada satu hal yang belum bisa kami pahami.

Kenapa para ulama menafsirkan nis-yan dalam hadis tsb dengan LUPA? Padahal bisa juga diartikan dengan meninggalkan, yakni meninggalkan mengamalkan isi kandungan Al-Quran, sebagaimana penafsiran Abu Syamah, guru Imam Nawawi dan murid Ibnu Shalah. Kenapa ulama tidak memimilih interpretasi Abu Syamah? Sebagaimana disinggung pada awal, arti dari nis-yan ada dua, lupa dan meninggalkan.

Sederhananya, Apa murajjih, penyokong, landasan, dan rujukan para pembesar ulama tsb dalam menentukan arti nis-yan adalah lupa, bukan meninggalkan? Karena, ketika satu kata memiliki dua kemungkinan tafsir, maka untuk memilih salah satunya membutuhkan murajjih dan rujukan.

Kami belum menemukan jawaban dari kemusykilan tsb. Nah, bagi gure-gure yang telah mengetahu jawabannya, mohon inbok kami atau menulisnya di komentar.

Kemusykilan tetaplah kemusykilan. Ia tidak dapat menggugat justifikasi.

Sekali lagi kami ulang, Natijahnya: HUKUM MELUPAKAN HAFALAN AL-QURAN ADALAH HARAM DAN DOSA BESAR YANG DAPAT MERUNTUHKAN 'ADALAH.

Semoga kesimpulan ini tidak mengurangi minat menghafal Al-Quran. Karena menghafal Al-Quran memiliki keutamaan yang luar biasa. Karena tidak ada seorang ahli ibadah pun yang berhak menyandang gelar yang sangat prestisius, AHLULLAH, selain penghafal Al-Quran.

Di samping itu,  penghafal Al-Quran diberi kemudahan dalam memahami ilmu agama. Makanya, sangat dianjurkan bagi para penuntut ilmu untuk menghafal Al-Quran. Dan kami pribadi memiliki cita-cita dan minat yang kuat untuk menghafal Al-Quran. Namun cita-cita tsb belum bisa kami wujudkan sekarang, karena keterbatasan kemampuan dan waktu.

Jika menghafalnya membutuhkan usaha 100%, maka sudah barang tentu untuk menjaganya membutuhkan usaha lebih dari itu, 1 juta persen.

Referensi:
1. Az-Zawajir, halaman 199-202, jilid 1
2. Al-Fatawal Kubra, halaman 57, jilid 1
3. Mughnil Muhtaj, halaman 346, jilid 6
4. Hasyiah Qulyubi, halaman 320, jilid 4
5. Asnal Mathalib, halaman 64, jilid 1
6. Nihayatuz Zain, halaman 385
7. Al-Itqan, halaman 363
8. Hasyiah Jalalain, halaman 82, jilid 3
9. Al-Khazin, halaman 217, jilid 3
10. Tafsir Bhaghwi, halaman 379, jilid 3

Minggu, 19 Maret 2017

MENGURUSI JENAZAH YANG KETIKA HIDUPNYA MEMILIH PEMIMPIN KAFIR DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN, HARAMKAH?

MENGURUSI JENAZAH YANG KETIKA HIDUPNYA MEMILIH PEMIMPIN KAFIR DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN, HARAMKAH?

Ada yang meminta pembahasan tentang hukum mengurusi jenazah yang ketika hidupnya memilih pemimpin kafir. Apakah haram atau tidak?

Sebelum membahas hukum tsb, alangkah baiknya terlebih dahulu membahas hukum memilih pemimpin kafir. Apakah boleh atau  tidak?  Apakah berimplikasi murtad atau tidak?

Ayat yang bisa dirujuk dalam permasalahan ini sangat banyak, lebih sepuluh. Di antaranya: Surat Al-Maidah ayat 51 dan Al-'Imran ayat 28.

Allah swt berfirman:

"Janganlah orang-orang mu'min mengambil orang kafir menjadi AULIYA. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari Allah swt." (QS. AL-'IMRAN 28)

Kata AULIYA dalam ayat tsb artinya penolong, sebagaimana penafsiran Syaikh 'Alauddin dalam tafsirnya, Khazin. Setelah merujuk beberapa kitab tafsir, belum ditemukan arti pemimpin bagi AULIYA dalam ayat tsb.

Ayat ini turun berkaitan dengan 'Ubadah bin Shalih, salah seorang sahabat Nabi saw yang mengikuti perang Badar. Beliau ini memiliki aliansi atau teman dari pihak kafir.

Menjelang perang Ahzab, 'Ubadah menjumpai Nabi saw dan mengusulkan ide untuk meminta bantuan dari aliansinya yang berjumlah 500 orang (semuanya kafir). Kemudian turun ayat ini, yang secara eksplisit melarang ide tsb. (Khazin) 

Meminta pertolongan orang kafir Berakibat lemahnya kepercayaan kepada kaum muslimin. Nah, ketika percayaan ini hilang, maka ia akan cenderung kepada orang kafir dan sifat-sifatnya (kekafiran). Ini sangat bahaya. Ada sebuah maqalah (perkataan): RIDHA KEPADA KEKAFIRAN ADALAH KEKAFIRAN.

Sifat alamiah manusia memang demikian. senang dan Cinta kepada orang yang membantunya. Lama-lama, kecintaan tsb menarik ia untuk mencintai apa saja yg org tsb lakukan. Sampai pada batas ia suka dan tidak mempermasalahkan keimanan org tsb. Ia akan menganggapnya sama antara iman dan kekafiran. Ini sangat-sangat bahaya. Wal-'iyazu billah.

Berkaitan ayat 51 surat Al-Maidah, Imam Qurtubi meriwayatkan dialog menarik antara khalifah, Umar bin Khatab, dan salah seorang pembantu beliau, Abu Musa Al-asy'ari yang menjabat sebagai gubernur Basharah. Keduanya merupakan sahabat utama Nabi saw.

Abu Musa: Wahai khalifah, sekretarisku adalah seorang Nashrani.

Umar: Apa alasan kamu mengangkat seorang Nashrani sebagai sekretaris?  Kenapa tidak seorang muslim?  Apakah kamu tidak mendengar firman Allah swt: "JANGANLAH KALIAN MENJADIKAN ORANG YAHUDI DAN NASHRANI SEBAGAI PENOLONG."

Abu Musa: Baginya agamanya dan aku hanya memakai jasanya.

Umar: Aku tidak akan memuliakan, jika Allah swt telah menghinakan mereka. Aku tidak akan meninggikan, jika Allah swt telah merendahkan mereka. Aku tidak akan mendekati, jika Allah swt telah menjauhi mereka.

Abu Musa: wahai khalifah, suksesnya birokrasi Basharah karena ada dia.

Umar: Apa yg akan kamu lakukan seandainya ia mati? Apa yang bisa kamu perbuat? Maka gantilah sekarang. Carilah yang lain.

Dalam dialog di atas, Umar secara tegas memerintahkan Abu Musa untuk memecat orang nashrani tsb.

Bagaimana Kajian Fiqihnya?

Disebutkan dalam kitab fiqih Syafi'i, khususnya Syarah-syarah minhajuth Thalibin, "ISLAM adalah syarat pertama untuk menjadi pemimpin." Bahkan, Qadhi 'Iyadh berkata: TELAH IJMAK ULAMA TERHADAP DUA PERKARA: PERTAMA, TIDAK SAH KEPEMIMPINAN ORANG KAFIR DAN YANG KEDUA, JIKA SEORANG PEMIMPIN MUSLIM MENJADI MURTAD, MAKA IA TERPECAT DENGAN SENDIRINYA.

Ketentuan ini sangat logis. Bagaimana bisa seseorang mengurusi islam dan kaum muslimin, jika ia kafir. Tentunya fanatisme kesukuan dan agama ada dalam dirinya. Ini naluriah. Memang tidak dapat dipungkiri.

Bagaimana hukumnya memilih pemimpin non muslim?

Dalam kitabnya, Imam Syarwani mengutip pendapat salah seorang ulama besar dalam mazhab Syafi'i, Syaikh 'Ali Syibrammulasi: Sedemikian, HARAM MENGANGANGKAT ORANG KAFIR SEBAGAI PENGURUS MASALAH KAUM MUSLIMIN. Secara tekstual ('Ibarat), nukilan diatas mengindikasikan adanya khilaf pendapat pada masalah tsb. Karena kata "KADZA" Atau "SEDEMIKIAN mengisyaratkan adanya khilaf pendapat terhadap masalah setelahnya. Namun sejauh ini, kami belum menemukan adanya pendapat yang secara tegas membolehkanya.

Syaikh 'Ali Shabuni, pakar tafsir kontemporer, mengatakan: Ulama menjadikan ayat di atas sebagai dalil dan landasan tidak boleh hukumnya menjadikan orang kafir sebagai pekerja (tukang dll), pelayan dan tidak boleh memberikan mereka jabatan untuk mengurusi kaum muslimin.

Apakah benar haram?  Padahal ayat tsb hanya melarang menjadikan orang kafir sebagai penolong, knp bisa disimpulkan haram memilih pemimpin muslim?

Meminta pertolongan tidak boleh, apalagi mengangkat mereka sebagai pemimpin. Menurut kami, ini termasuk dalam QIYAS 'ILAT atau Dalam istilah yang lain disebut FAHWAL KHITAB atau TAMBIHUL ADNA 'ALAL A'LA. Contoh QIYAS 'ILAT: Haram memukul orang tua. Padahal dalam Al-Quran, Allah swt hanya melarang berkata "AH" pada orang tua. Maka sangat tidak logis, jika berkata AH haram, tp memukul tidak. Begitu juga dalam masalah ini. Absurd rasanya, jika menjadikan mereka penolong haram, tp boleh menjadikan mereka sebagai pemimpin. Apakah pemimpin bukan penolong bagi rakyatnya.

Ayat di atas, bisa juga dianalisa dari kacamata Qaidah Usul Fiqih yang lain. Qaidah tsb berbunyi: BOLEH MENJADIKAN SUATU AYAT SEBAGAI DALIL BAGI PERMASALAHAN LAIN YANG TIDAK TERMASUK DALAM KONTEKS ATAU MAKSUD AYAT TSB.

Syaikh Jamaluddin dalam kitabnya, Tahqiq 'alal Luma', memberikan contoh, ayat 24 surat Al-Anfal:

"Jawablah (seruan) Allah dan Rasul, jika menyeru kalian." Konteks ayat ini adalah perintah menjawab seruan perang dari Allah swt dan Rasul saw. Singkatnya, kewajiban berperang. Namun Rasulullah saw menjadikan ayat tsb sebagai dalil terhadap permasalan yang lain.

Pada satu kesempatan, Rasulullah saw bertemu Abu Zar. Lalu beliau memberi salam. Abu Zar yang sedang shalat tidak menjawab salam beliau. Setelah shalat Rasulullah bertanya, "Apakah yang menyebabkan kamu tidak menjawab salamku." Abu Zar menjawab: "Tadi aku sedang shalat ya Rasulullah." Rasulullah saw bersabda: "Apakah kamu belum mendengar Firman Allah swt, "Jawablah (seruan) Allah dan Rasul, jika menyeru kalian."

Nah, Qaidah usul fiqh ini bisa dijadikan sebagai "TAMPARAN" jika ada yang bersikeras dan berkata: "ayat 28, surat Taubah tsb, konteksnya adalah melarang menjadikan orang kafir sebagai teman atau penolong. Jadi tidak boleh dijadikan sebagai dalil haramnya memilih pemimpin non muslim."

Apakah menjadi murtad orang memilih orang kafir sebagai pemimpin?

Di akhir ayat, Allah swt berfirman:
"Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari Allah swt."

Imam Tsa'labi dan Suyuti menafsirkannya, LEPAS DARI AGAMA ALLAH SWT. Artinya MURTAD. Namun Imam Tsa'labi berkata: "Ini berlaku bagi orang-orang muslim yang saling bantu-membantu dan bahu-membahu dengan orang kafir untuk menghancurkan kaum muslimin." Seperti Abdullah bin Ubay yang berkoalisi dengan orang kafir. Ia memberitahu rahasia, strategi perang, kelemahan dan aib kaum muslimin kepada kaum muslimin.

Ada yang menafsirkannya, Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari bantuan Allah swt." Sebagaimana Interpretasi Imam Fakhruddin Razi dalam tafsirnya, Mafatihul Ghaib.

Kesimpulannya: HARAM HUKUMNYA MENGANGKAT PEMIMPIN NON MUSLIM. TP TIDAK SAMPAI MENJADI MURTAD.

Nah, jangan sekali-kali menuduh mereka kafir, munafik atau murtad. Karena tuduhan seperti itu, kalau tidak benar, maka akan kembali kepada yang menuduh. Hati-hati!!!

Bagaimana hukumnya mengurus jenazah mereka?

Allah swt berfirman:
"Dan janganlah kamu sekali-kali menshalati (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik."(QS. At-Taubah 84)

Dalam tafsir Khazin ada sebuah riwayat, bahwa Nabi saw menshalati jenazah Abdullah bin Ubay. Ketika Nabi berdiri, Umar bin Khatab meloncat ke arah Nabi saw dan berkata: Apakah engkau akan menshalati Abdullah bin Ubay?  Padahal dulu ia sering melontarkan kata-kata menyakitkan. Lalu Nabi saw tersenyum dan berkata: Mundurlah wahai Umar. Aku terus mengulang pertanyaan tsb. kemudian beliau berkata: "Aku telah diberi pilihan dan aku akan memilih. seandainya aku mengetahui bahwa ia akan diampuni jika aku meminta ampun untuknya lebih 70 kali, maka aku akan melakukannya. Lalu Nabi menshalatinya. Tidak lama kemudian turun ayat 84 tsb. Dan setelah itu, Nabi saw tidak pernah lagi menshalati jenazah orang munafik. Di akhir riwayat disebutkan bahwa Umar merasa heran kenpa ia berani bersikap seperti itu kepada Nabi saw.

Oleh ulama mazhab Syafi'i seperti Jalaluddin Al-Mahalli, Khatib Syarbaini, Imam Ramli dan Ibnu Hajar Al-Haitami, menjadikan ayat tsb sebagai dalil haram menyalati jenazah orang kafir, kafir harbi atau zimmi atau yang sejenisnya.

Bagaimana memandikan, mengkafankan dan menguburkan Jenazah kafir?

Tidak wajib! Namun dibolehkan. Karena Nabi saw memerintahkan Ali untuk memandikan ayahnya, Abu Thalib dan mengkafankannya.

Bahkan kafir Zimmi, Wajib hukumnya mengkafani dan menguburkannya. Adapun menguburkan murtad dan kafir harbi boleh hukumnya, bahkan sunnah, supaya tidak terganggu kaum muslimin dengan bau bangkai keduanya.

Sedangkan jenazah muslim wajib dimandikan, dikafani, dishalati dan dikebumikan, walaupun muslim tsb telah melakukan dosa besar. Selama muslim tsb masih beragama islam, tidak ada satu alasan pun untuk tidak mengurusi jenazah mereka.

Seandainya, ini seandainya ya. seandainya ada jenazah muslim yang tidak wajib diurusi, maka itu adalah jenazah, pembunuh, orang yang tidak shalat dan orang yg sudah berkeluarga berzina. Karena ketiga orang tersebut dikenakan hukuman mati. Pembunuh hukumannya qishas. Yang tidak shalat hukumannya adalah penggal kepala. yang berzina dirajam. Apakah ada hukum seberat itu bagi seorang muslim? Tidak!!!  Tapi Jenazah ketiganya juga wajib diurusi.

Referensi:

1. Hasyiah Syarwani
2. Rawai'ul Bayan
3. Tafsir Qurtubi
4. Tafsir Khazin
5. Mahalli
6. Mughnil Muhtaj
7. Nihayatul Muhtaj
8. Tuhfatul Muhtaj
9. Tafsir Tsa'labi
10. Mafatihul Ghaib
11. Tafsir Jalalain