Minggu, 26 Februari 2017

Caci-maki terhadap Presiden, bolehkah?

"Jangan sibukkan hati kalian dengan mencaci pemimpin, tetapi doakan mereka" (HR. Bukhari, Hasyiah I'anatuth Thalibin, jilid 2, halaman 80)
Dalam beberapa hadis, Nabi saw sudah menyampaikan nubuat jelek (peristiwa masa depan), berkaitan kepemimpinan. Dan Nabi pun telah memberi solusi dalam menghadapi pemimpin yang zhalim.
Diantaranya berdoa dan stop caci maki.
Tidak ada pemimpin yang maksum, tidak memiliki kesalahan. Namanya juga manusia, tentu tidak luput dari dosa dan salah. Bagaimana menyikapinya?  Berdoa dan stop caci maki.
Yang banyak hari ini apa? doa atau caci maki?
Terserah mereka, yang penting kita tidak ikut mencaci maki. Emang siapa yang mereka ikuti? Habib Rizieq?  Tp Setahu kami, Habib Rizieq tidak pernah mencaci maki presiden. Buya Yahya?  Juga tidak pernah mencaci presiden. Yang mereka berdua lakukan adalah kritik dan berdoa, bukan mencaci.
Ulama kita sangat paham, hukum mencaci maki seorang muslim adala dosa, apalagi mencaci maki presiden, yang jelas-jelas dalam Al-Quran diperintahkan mentaati mereka.
Presiden sekarang banyak jasanya,  walaupun tidak sedikit juga dosanya. Program dana desa saja sudah sangat membantu. Jalan bisa diperbaiki untuk memudahkan akses. Parit bisa dibuat untuk mengurangi resiko banjir. Mesjid bisa direhab supaya lebih nyaman ibadah. Guru ngaji TPQ bisa diberi tunjangan, supaya dapat mengurangi beban hidup mereka, sehingga dapat lebih fokus mengajarkan ngaji. Majlis taklim menjadi lebih "ramphak" dengan disediakan kitab gratis bagi peserta majlis. dan bahkan sebagian kampung, menyediakan kue dan minuman pada setiap majelis taklim diselenggarakan.
Apakah itu bukan kebaikan?
Bagaimana mungkin, karena beberapa kesalahan, kebaikan dikatakan kejahatan. Logika macam apa ini. Apa ada orang seperti ini?  Banyak, bahkan ada yg memelintirkan kebaikannya, sehingga seolah-olah terlihat seperti kejahatan. Dikatakan bodoh, sarjana. Dikatakan jahil, juga mengaji.
Terserah mereka, yang penting kita tidak seperti mereka, hanya melihat keburukan doang. Ya, mungkin karena kebencian sudah bersemayam kuat dalam jiwa mereka.
Kita gmn? 
Yang baik tetap baik dan dipuji serta diapresiasi. Yang buruk tetap buruk dan dikritik serta didoakan supaya menjadi baik.
rumusnya simpel, Stop caci maki, kritik oke, dan doa lebih oke.

Cadar Dalam Perspektif Al-Quran

Cadar dalam bahasa arab sering disebut niqab dan burqu' (dalam bahasa Indonesia diucap burqa'). Dan terkadang disebut juga qina'.

Wajibkah cadar?

Dalam Al-Quran,  Allah swt berfirman:

“Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang-orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilababnya. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak digangggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab 33: 59).

Jalabib merupakan kata plural dari jilbab. artinya adalah cadar, sebagaimana penafsiran Al -Mahalli dalam tafsir Jalalain (halaman 355, jilid 3).

Nah, berdasarkan penafsiran Mahalli, Ayat tsb turun berkaitan perintah bercadar.

Bagaimana asbabun nuzulnya?

Dalam kitab Durul Mantsur, karangan Imam Suyuti, terdapat sebuah riwayat dari Mu'awiyah bin Qurrah. Ia berkata: di Madinah,  para pria hidung belang dan mata keranjang berkeliaran setiap malamnya untuk mencari perempuan. Mereka mengerdipkan mata dan melirik nakal  pada budak wanita yang lewat. Dan hal itu tidak mereka lakukan pada wanita merdeka. Dalam riwayat dari As-Saddi disebutkan, para pria tsb, jika melihat wanita bercadar, mereka berkata: "ini wanita merdeka." kemudian mereka tinggalkan dan jika melihat wanita yang tidak bercadar, mereka berkata: "ini budak." kemudian mereka menangkapnya.  ( Durul Mantsur,  halaman 658, jilid 6)

Cadar merupakan tanda bagi wanita merdeka, supaya mereka bisa dikenali dan bisa dibedakan dengan budak, sehingga  tidak akan diganggu dan dirayu oleh pria hidung belang kala itu yg sering mengganggu budak perempuan.

Karena alasan itu, kenapa Umar marah terhadap budak yang memakai cadar.

Diriwayatkan oleh Anas bin Malik, lewat Seorang budak wanita bercadar di depan Umar bin Khatab. Lantas Umar Memukulnya dan berkata, "wahai wanita hina, janganlah kamu menyerupai wanita merdeka, maka lepaskan cadarmu." (tafsir Khazin, halaman 436, jilid 3)

Nah, sekarang bagaimana?  Budak tidak ada lagi, Apakah perintah bercadar masih berlaku bagi wanita merdeka? 

Dalam kitab Al-Luma', Abu Ishak As-Sirazi mengemukakan konsep (qaidah) dalam memahami Al-Quran. Jika lafazh Al-Quran bersifat umum, sedangkan sebabnya khusus, maka berlakunya secara umum dengan mengesampingkan kekhususan sebabnya. (Al-Luma',  halaman 19)

Dalam kitab Al-Itqan, Imam suyuti mengemukakan qaidah senada, Al-'IBRATU BI UMUMIL LAFZHI LA BI KHUSHUSIS SABAB, Yang dijadikan sebagai landasan adalah keumuman teksnya, tidak kekhususan konteksnya. (Al-Itqan, halaman 42)

Dapat dikonklusikan, perintah bercadar masih tetap berlaku, walaupun konteks turunnya perintah tsb tidak terdapat lagi sekarang.

Permasalahannya, "amar" atau "perintah" dalam ayat tersebut apakah wajib atau sunnat?

pada dasarnya, amar bersifat wajib. Namun berbeda halnya jika ada dalil yang memalingkannya dari wajib kepada makna yang lain. Maka maknanya sudah berubah.

Apakah amar pada ayat di atas ada dalil yang memalingkannya?

Qadhi 'Iyadh berkata: "Sudah menjadi ijmak, konsensus ulama mujtahid bahwa cadar hukumnya sunnat, tidak wajib.

Menilik pembahasan Ibnu Hajar dalam kitabnya, beliau cenderung (tarjih)  kepada pendapat Qadhi 'Iyadh yang tidak mewajibkan cadar, tapi hukumnya adalah sunnat.

Di tempat yang lain, Imam Haramain, gurunya Imam Ghazali dan salah seorang dari Ahshabul Wujuh, berkata: "Telah sepakat kaum muslimin (Hakim Negara Islam, red) melarang perempuan keluar tanpa menggunakan cadar." Ini adalah salah satu pijakan mereka dalam memilih (tarjih) pendapat wajib cadar, seperti Imam Ramli dalam Nihayahnya, Syaikh Khatib Syarbaini dalam Mughninya dan ulama seumpanya. Sampai mereka menganggap dha'if perkataan Qadhi 'Iyadh di atas.

Ibnu Hajar juga menerima perkataan Imam Haramain. Namun, beliau tidak setuju dengan pemahaman sebagian ulama yang menyimpulkan WAJIB BERCADAR dari perkataan tsb.

Menurut Ibnu Hajar, Para hakim dulu melarang perempuan berpergian tanpa cadar, boleh jadi karena perkara tsb hukumnya makruh. Dan Hakim berhak melarang rakyat melakukan perbuatan makruh, jika padanya terdapat kemaslahatan umum. Maka tidak bisa langsung disimpulkan hukumnya haram.

Berdasarkan penjelasan Ibnu Hajar,  maka perkataan Imam Haramain tsb tidak kontradiksi dengan perkataan Qadhi 'Iyadh.

Memang benar, hukum melihat wajah perempuan adalah haram bagi laki-laki, namun haram melihat tidak meniscayakan wajib tutup (cadar) menurut Ibnu Hajar.

jika alasan wajib cadar bagi perempuan adalah karena haram melihat wajahnya bagi laki-laki,  maka cadar wajib juga bagi laki-laki, karena haram hukumnya bagi perempuan melihat wajah laki-laki. Demikian keterangan Syaikh sulaiman dalam kitabnya, Hasyiah Jamal. Beliau menambahkan, "YANG BENAR ADALAH KETERANGAN IBNU HAJAR DALAM TUHFATUL MUHTAJ."

Dalam menafsirkan surat An-Nur, ayat 31, ulama telah sepakat bahwa wajah tidak termasuk aurat. Kalau bukan aurat, maka tidak wajib ditutup.

Dan juga, jika cadar wajib, maka kenapa Nabi saw mengharamkannya saat mengerjakan haji?

Potong kuku haram saat mengerjakan ihram. Menyisir haram saat ihram. Memotong rambut haram ketika ihram. Memakai minyak Wangi haram. melakukan akad nikah haram. Berburu haram. Memakai pakaian berjahit haram. Semua itu, haram dilakukan saat ihram. Pertanyaannya: apakah semua itu wajib dilakukan di luar ihram?

Yang terakhir bukan keterangan ulama. Hanya logika untuk menambah kepuasan kami terhadap penjelasan Ibnu Hajar.

Dapat disimpulkan, HUKUM BERCADAR ADALAH SUNAT, TIDAK WAJIB.

Dan kesimpulan ini diperkuat oleh sikap Ulama Aceh, khususnya dan Indonesia umumnya, yang istrinya tidak memakai cadar.

Referensi:
1. Hasyiah Jalalain, halaman 355, jilid 3
2. Durrul Mantsur, halaman 658, jilid 6
3. Al-Khazin, halaman 436, jilid 3
4. Hasyiatani 'Alal Mahalli, hlmn 208, jilid 3
5. Hasyiah Jamal, halaman 123, jilid 4
6. Mughnil Muhtaj, halaman 166, jilid 3
7. Nihayatul Muhtaj, halaman 278, jilid 6
8. Tuhfatul Muhtaj, halaman 227, jilid 7