Minggu, 19 Maret 2017

MENGURUSI JENAZAH YANG KETIKA HIDUPNYA MEMILIH PEMIMPIN KAFIR DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN, HARAMKAH?

MENGURUSI JENAZAH YANG KETIKA HIDUPNYA MEMILIH PEMIMPIN KAFIR DALAM PERSPEKTIF AL-QURAN, HARAMKAH?

Ada yang meminta pembahasan tentang hukum mengurusi jenazah yang ketika hidupnya memilih pemimpin kafir. Apakah haram atau tidak?

Sebelum membahas hukum tsb, alangkah baiknya terlebih dahulu membahas hukum memilih pemimpin kafir. Apakah boleh atau  tidak?  Apakah berimplikasi murtad atau tidak?

Ayat yang bisa dirujuk dalam permasalahan ini sangat banyak, lebih sepuluh. Di antaranya: Surat Al-Maidah ayat 51 dan Al-'Imran ayat 28.

Allah swt berfirman:

"Janganlah orang-orang mu'min mengambil orang kafir menjadi AULIYA. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari Allah swt." (QS. AL-'IMRAN 28)

Kata AULIYA dalam ayat tsb artinya penolong, sebagaimana penafsiran Syaikh 'Alauddin dalam tafsirnya, Khazin. Setelah merujuk beberapa kitab tafsir, belum ditemukan arti pemimpin bagi AULIYA dalam ayat tsb.

Ayat ini turun berkaitan dengan 'Ubadah bin Shalih, salah seorang sahabat Nabi saw yang mengikuti perang Badar. Beliau ini memiliki aliansi atau teman dari pihak kafir.

Menjelang perang Ahzab, 'Ubadah menjumpai Nabi saw dan mengusulkan ide untuk meminta bantuan dari aliansinya yang berjumlah 500 orang (semuanya kafir). Kemudian turun ayat ini, yang secara eksplisit melarang ide tsb. (Khazin) 

Meminta pertolongan orang kafir Berakibat lemahnya kepercayaan kepada kaum muslimin. Nah, ketika percayaan ini hilang, maka ia akan cenderung kepada orang kafir dan sifat-sifatnya (kekafiran). Ini sangat bahaya. Ada sebuah maqalah (perkataan): RIDHA KEPADA KEKAFIRAN ADALAH KEKAFIRAN.

Sifat alamiah manusia memang demikian. senang dan Cinta kepada orang yang membantunya. Lama-lama, kecintaan tsb menarik ia untuk mencintai apa saja yg org tsb lakukan. Sampai pada batas ia suka dan tidak mempermasalahkan keimanan org tsb. Ia akan menganggapnya sama antara iman dan kekafiran. Ini sangat-sangat bahaya. Wal-'iyazu billah.

Berkaitan ayat 51 surat Al-Maidah, Imam Qurtubi meriwayatkan dialog menarik antara khalifah, Umar bin Khatab, dan salah seorang pembantu beliau, Abu Musa Al-asy'ari yang menjabat sebagai gubernur Basharah. Keduanya merupakan sahabat utama Nabi saw.

Abu Musa: Wahai khalifah, sekretarisku adalah seorang Nashrani.

Umar: Apa alasan kamu mengangkat seorang Nashrani sebagai sekretaris?  Kenapa tidak seorang muslim?  Apakah kamu tidak mendengar firman Allah swt: "JANGANLAH KALIAN MENJADIKAN ORANG YAHUDI DAN NASHRANI SEBAGAI PENOLONG."

Abu Musa: Baginya agamanya dan aku hanya memakai jasanya.

Umar: Aku tidak akan memuliakan, jika Allah swt telah menghinakan mereka. Aku tidak akan meninggikan, jika Allah swt telah merendahkan mereka. Aku tidak akan mendekati, jika Allah swt telah menjauhi mereka.

Abu Musa: wahai khalifah, suksesnya birokrasi Basharah karena ada dia.

Umar: Apa yg akan kamu lakukan seandainya ia mati? Apa yang bisa kamu perbuat? Maka gantilah sekarang. Carilah yang lain.

Dalam dialog di atas, Umar secara tegas memerintahkan Abu Musa untuk memecat orang nashrani tsb.

Bagaimana Kajian Fiqihnya?

Disebutkan dalam kitab fiqih Syafi'i, khususnya Syarah-syarah minhajuth Thalibin, "ISLAM adalah syarat pertama untuk menjadi pemimpin." Bahkan, Qadhi 'Iyadh berkata: TELAH IJMAK ULAMA TERHADAP DUA PERKARA: PERTAMA, TIDAK SAH KEPEMIMPINAN ORANG KAFIR DAN YANG KEDUA, JIKA SEORANG PEMIMPIN MUSLIM MENJADI MURTAD, MAKA IA TERPECAT DENGAN SENDIRINYA.

Ketentuan ini sangat logis. Bagaimana bisa seseorang mengurusi islam dan kaum muslimin, jika ia kafir. Tentunya fanatisme kesukuan dan agama ada dalam dirinya. Ini naluriah. Memang tidak dapat dipungkiri.

Bagaimana hukumnya memilih pemimpin non muslim?

Dalam kitabnya, Imam Syarwani mengutip pendapat salah seorang ulama besar dalam mazhab Syafi'i, Syaikh 'Ali Syibrammulasi: Sedemikian, HARAM MENGANGANGKAT ORANG KAFIR SEBAGAI PENGURUS MASALAH KAUM MUSLIMIN. Secara tekstual ('Ibarat), nukilan diatas mengindikasikan adanya khilaf pendapat pada masalah tsb. Karena kata "KADZA" Atau "SEDEMIKIAN mengisyaratkan adanya khilaf pendapat terhadap masalah setelahnya. Namun sejauh ini, kami belum menemukan adanya pendapat yang secara tegas membolehkanya.

Syaikh 'Ali Shabuni, pakar tafsir kontemporer, mengatakan: Ulama menjadikan ayat di atas sebagai dalil dan landasan tidak boleh hukumnya menjadikan orang kafir sebagai pekerja (tukang dll), pelayan dan tidak boleh memberikan mereka jabatan untuk mengurusi kaum muslimin.

Apakah benar haram?  Padahal ayat tsb hanya melarang menjadikan orang kafir sebagai penolong, knp bisa disimpulkan haram memilih pemimpin muslim?

Meminta pertolongan tidak boleh, apalagi mengangkat mereka sebagai pemimpin. Menurut kami, ini termasuk dalam QIYAS 'ILAT atau Dalam istilah yang lain disebut FAHWAL KHITAB atau TAMBIHUL ADNA 'ALAL A'LA. Contoh QIYAS 'ILAT: Haram memukul orang tua. Padahal dalam Al-Quran, Allah swt hanya melarang berkata "AH" pada orang tua. Maka sangat tidak logis, jika berkata AH haram, tp memukul tidak. Begitu juga dalam masalah ini. Absurd rasanya, jika menjadikan mereka penolong haram, tp boleh menjadikan mereka sebagai pemimpin. Apakah pemimpin bukan penolong bagi rakyatnya.

Ayat di atas, bisa juga dianalisa dari kacamata Qaidah Usul Fiqih yang lain. Qaidah tsb berbunyi: BOLEH MENJADIKAN SUATU AYAT SEBAGAI DALIL BAGI PERMASALAHAN LAIN YANG TIDAK TERMASUK DALAM KONTEKS ATAU MAKSUD AYAT TSB.

Syaikh Jamaluddin dalam kitabnya, Tahqiq 'alal Luma', memberikan contoh, ayat 24 surat Al-Anfal:

"Jawablah (seruan) Allah dan Rasul, jika menyeru kalian." Konteks ayat ini adalah perintah menjawab seruan perang dari Allah swt dan Rasul saw. Singkatnya, kewajiban berperang. Namun Rasulullah saw menjadikan ayat tsb sebagai dalil terhadap permasalan yang lain.

Pada satu kesempatan, Rasulullah saw bertemu Abu Zar. Lalu beliau memberi salam. Abu Zar yang sedang shalat tidak menjawab salam beliau. Setelah shalat Rasulullah bertanya, "Apakah yang menyebabkan kamu tidak menjawab salamku." Abu Zar menjawab: "Tadi aku sedang shalat ya Rasulullah." Rasulullah saw bersabda: "Apakah kamu belum mendengar Firman Allah swt, "Jawablah (seruan) Allah dan Rasul, jika menyeru kalian."

Nah, Qaidah usul fiqh ini bisa dijadikan sebagai "TAMPARAN" jika ada yang bersikeras dan berkata: "ayat 28, surat Taubah tsb, konteksnya adalah melarang menjadikan orang kafir sebagai teman atau penolong. Jadi tidak boleh dijadikan sebagai dalil haramnya memilih pemimpin non muslim."

Apakah menjadi murtad orang memilih orang kafir sebagai pemimpin?

Di akhir ayat, Allah swt berfirman:
"Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari Allah swt."

Imam Tsa'labi dan Suyuti menafsirkannya, LEPAS DARI AGAMA ALLAH SWT. Artinya MURTAD. Namun Imam Tsa'labi berkata: "Ini berlaku bagi orang-orang muslim yang saling bantu-membantu dan bahu-membahu dengan orang kafir untuk menghancurkan kaum muslimin." Seperti Abdullah bin Ubay yang berkoalisi dengan orang kafir. Ia memberitahu rahasia, strategi perang, kelemahan dan aib kaum muslimin kepada kaum muslimin.

Ada yang menafsirkannya, Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari bantuan Allah swt." Sebagaimana Interpretasi Imam Fakhruddin Razi dalam tafsirnya, Mafatihul Ghaib.

Kesimpulannya: HARAM HUKUMNYA MENGANGKAT PEMIMPIN NON MUSLIM. TP TIDAK SAMPAI MENJADI MURTAD.

Nah, jangan sekali-kali menuduh mereka kafir, munafik atau murtad. Karena tuduhan seperti itu, kalau tidak benar, maka akan kembali kepada yang menuduh. Hati-hati!!!

Bagaimana hukumnya mengurus jenazah mereka?

Allah swt berfirman:
"Dan janganlah kamu sekali-kali menshalati (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik."(QS. At-Taubah 84)

Dalam tafsir Khazin ada sebuah riwayat, bahwa Nabi saw menshalati jenazah Abdullah bin Ubay. Ketika Nabi berdiri, Umar bin Khatab meloncat ke arah Nabi saw dan berkata: Apakah engkau akan menshalati Abdullah bin Ubay?  Padahal dulu ia sering melontarkan kata-kata menyakitkan. Lalu Nabi saw tersenyum dan berkata: Mundurlah wahai Umar. Aku terus mengulang pertanyaan tsb. kemudian beliau berkata: "Aku telah diberi pilihan dan aku akan memilih. seandainya aku mengetahui bahwa ia akan diampuni jika aku meminta ampun untuknya lebih 70 kali, maka aku akan melakukannya. Lalu Nabi menshalatinya. Tidak lama kemudian turun ayat 84 tsb. Dan setelah itu, Nabi saw tidak pernah lagi menshalati jenazah orang munafik. Di akhir riwayat disebutkan bahwa Umar merasa heran kenpa ia berani bersikap seperti itu kepada Nabi saw.

Oleh ulama mazhab Syafi'i seperti Jalaluddin Al-Mahalli, Khatib Syarbaini, Imam Ramli dan Ibnu Hajar Al-Haitami, menjadikan ayat tsb sebagai dalil haram menyalati jenazah orang kafir, kafir harbi atau zimmi atau yang sejenisnya.

Bagaimana memandikan, mengkafankan dan menguburkan Jenazah kafir?

Tidak wajib! Namun dibolehkan. Karena Nabi saw memerintahkan Ali untuk memandikan ayahnya, Abu Thalib dan mengkafankannya.

Bahkan kafir Zimmi, Wajib hukumnya mengkafani dan menguburkannya. Adapun menguburkan murtad dan kafir harbi boleh hukumnya, bahkan sunnah, supaya tidak terganggu kaum muslimin dengan bau bangkai keduanya.

Sedangkan jenazah muslim wajib dimandikan, dikafani, dishalati dan dikebumikan, walaupun muslim tsb telah melakukan dosa besar. Selama muslim tsb masih beragama islam, tidak ada satu alasan pun untuk tidak mengurusi jenazah mereka.

Seandainya, ini seandainya ya. seandainya ada jenazah muslim yang tidak wajib diurusi, maka itu adalah jenazah, pembunuh, orang yang tidak shalat dan orang yg sudah berkeluarga berzina. Karena ketiga orang tersebut dikenakan hukuman mati. Pembunuh hukumannya qishas. Yang tidak shalat hukumannya adalah penggal kepala. yang berzina dirajam. Apakah ada hukum seberat itu bagi seorang muslim? Tidak!!!  Tapi Jenazah ketiganya juga wajib diurusi.

Referensi:

1. Hasyiah Syarwani
2. Rawai'ul Bayan
3. Tafsir Qurtubi
4. Tafsir Khazin
5. Mahalli
6. Mughnil Muhtaj
7. Nihayatul Muhtaj
8. Tuhfatul Muhtaj
9. Tafsir Tsa'labi
10. Mafatihul Ghaib
11. Tafsir Jalalain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar